Termotivasi Kombinasi Sebel, Kesel, Jengkel, tapi Ada Harapan

Sabtu, 13 Februari 2010 – 05:27 WIB
Prof Dr Emil Salim di kediaman pribadinya di kompleks Taman Patra Kuningan. (Sofyan Hendra/Jawa Pos)

Di antara para anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Prof Dr Emil Salim adalah yang tertuaDia seorang teknokrat, ekonom, juga aktivis lingkungan hidup

BACA JUGA: Keluarga Antasari Serbaputih, Ada Pengunjung Bawa Badik

Bagaimana dia bertugas ketika umur sudah mendekati 80 tahun"

------------------------------ ------
  SOFYAN HENDRA, Jakarta
------------------------------ ------

Emil Salim, kakek empat cucu itu,  masih terlihat trengginas
Jika berjalan, langkahnya cepat, seperti tidak mau kalah oleh yang muda

BACA JUGA: Siapkan Suvenir Khusus, Murid-murid Rutin Latihan Seni

Jika berbicara, lafalnya juga masih sangat jelas.

Stamina Emil memang masih cukup fit
Sebelum berbincang di kediaman pribadinya di Kompleks Taman Patra, Kuningan, Jakarta, kemarin (12/2), Jawa Pos mengikuti Emil mengisi sebuah seminar tentang lingkungan di Hotel Bidakara, Jakarta.  Suami Siti Syahzinan itu pagi-pagi kemarin harus datang ke lokasi seminar untuk menjadi pembicara

BACA JUGA: Dibuka, Murid Mancanegara Langsung Berdatangan

Padahal, malam hari sebelumnya, dia baru menempuh sembilan jam perjalanan pesawat dari Jepang.

Diskusi itu diselenggarakan oleh Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup (BKLH) Pemprov DKI JakartaDalam diskusi itu, Emil berbicara bak motivatorTak hanya berdiri di podium, dia berkeliling memandu tanya jawab dari presentasi para pakar lain

Selain sukses menjaga kesehatan, Emil juga punya motivasi khusus sehingga dirinya tetap fit untuk beraktivitas"Saya kan tidak lama bisa surviveTapi, anak cucu saya itu gimana" Maka, paling tidak, selama masih hidup, saya masih bisa memberikan semacam arahan agar cucu anak selamatCucu dan anak selamat kalau negara ini selamatJadi,  ada kepentingan pribadi dan kepentingan umum," beber kakek kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930 itu.

Alasan itu pula yang membuat Emil  menerima ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi anggota Wantimpres bidang Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan sampai periode keduaKetua Delegasi Indonesia untuk UNFCC (Badan Dunia untuk Perubahan Iklim, 1997) itu juga bersedia beraktivitas di tingkat pemdaDia kini dipercaya juga sebagai ketua Dewan Pakar di BKLH DKI Jakarta dan aktif berkecimpung menyelesaikan masalah lingkungan di ibu kota.

"Ini kesempatan untuk melihat masalah itu dari bawah," kata EmilDia geram dengan banyaknya masalah lingkungan seperti banjir, polusi, dan kemacetanPadahal, menurut dia, banyak peraturan yang sudah bagus, namun gagal di tingkat implementasi"Ada semacam api yang membakarIde bagus, tapi pelaksanaannya brengsekIngin mencari bagaimana kok tidak klop, tutup sama botolnya ituIni kombinasi sebel, kesel, jengkel, tapi juga harapan," kata EmilDia merasa, pengalamannya di pemerintahan dan sebagai akademisi  masih bisa terus dimanfaatkan

Perjalanan hidup Emil memang membentang panjangDoktor ekonomi lulusan University of California at Berkeley, AS (1961?1964) ini dikenal sebagai salah satu teknokrat-ekonom yang ikut membangun fondasi Orde Baru. 

Emil pernah bekerja 25 tahun bersama mantan Presiden Soeharto (alm) sejak 1968, ketika menjadi deputi ketua BappenasKarirnya di pemerintahan terus bersinar dengan menjadi menteri pendayagunaan aparatur negara (1971?1973), menteri perhubungan, telekomunikasi, dan pariwisata (1973?1978), dan menteri kependudukan dan lingkungan hidup (1978?1993).

Peraih Bintang Mahaputra Adipradana (1973) itu mengakhiri pengabdiannya di pemerintahan Orde Baru pada 1993Dia mengatakan, itu dia lakukan bukan karena sudah tidak cocok dengan Pak Harto"Saya sudah (bekerja) dengan Pak Harto sejak tahun 68Wah, kalau 25 tahun itu lambat laun kan jemuKreativitas pun sudah hilang," kata Emil.

Guru besar Universitas Indonesia itu lantas kembali ke kampusDi kampus itulah dia mengetahui dan menyadari bahwa generasi sudah berubahModel pemerintahan otoriter dinilai Emil hanya cocok di tahun 1970?1980-an"Saya merasa ada generation changeTidak bisa kalau generasi berubah kau pakai pola lama," kata mantan presiden Dewan Eksekutif United Nation Environment Programme (UNEP) itu.

Emil menyadari, menjelang abad ke-21, demokratisasi sudah harus dimulaiSalah satunya, menjadikan Wapres pendamping Pak Harto bukan dari kabinetEmil menilai demokrasi bisa dilahirkan pelan-pelan dengan memilih Wapres dengan kriteria tersebutItulah yang membuat dirinya kala itu memberanikan diri mencalonkan diri menjadi orang nomor dua di pemerintahan.

"Mungkin pemerintahan bisa lebih selamat andaikata yang menjadi nomor dua orang yang bukan di dalam pemerintahanSaya sudah tidak (di pemerintahan) sejak 1993Banyak teman yang masih di kabinetJadi, apa bedanya antara presiden (Soeharto) sama Habibie, kan sulit membuat demokratis," katanyaTapi, dukungan dari MPR tak munculB.JHabibie akhirnya terpilih mendampingi Soeharto.

Pada era Megawati, Emil ditunjuk menjadi anggota Dewan Penasihat Pemerintah dan kepala Dewan Ekonomi NasionalMenjadi saksi dan pelaku sejarah pada era otoriter hingga demokrasi membuat dirinya punya pandangan tersendiri terhadap kepemimpinan SBY, presiden yang dia bantu saat ini

Emil menyatakan, SBY memang mau tidak mau harus merangkul banyak pihakSebab, situasi politik saat ini sangat berbeda dari masa Orde BaruMenurut dia, pada era Orde Baru, tidak ada yang bermain politik dalam kabinetSoeharto juga memiliki tulang punggung mulai atas hingga bawahTulang punggung itu adalah ABRI, Golkar, dan Korpri"Jadi, kalau hitam kata Pak Harto, hitam kata menteri, hitam kata gubernur, hitam kata bupati," ujarnya.

Hal tersebut berbeda dari yang dihadapi SBYKini ada banyak partaiGubernur dan bupati/wali kota juga dipilih langsung"Semua merasa punya rakyat yang memilihnya," ungkap mantan ketua Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan itu.

Meski demikian, Emil memiliki optimisme yang cukup besarJika hiruk-pikuk politik seperti kasus Bank Century bisa dilewati, dia optimistis Indonesia akan menjadi negara demokrasi yang besar"Kita harus melewatiSeperti kapal layar, anginnya kencang, bagaimana bisa melewati tanpa tenggelamKalau berhasil melewati, kita tambah kuat."

Emil yakin, bersama-sama negara berkembang lain seperti Brazil, Tiongkok, dan India, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi baru"Apalagi, trennya, abad ke-21 ini adalah milik Asia," katanya.

Emil saat ini masih mengajar di program Pascasarjana Ilmu Lingkungan UIDi tengah kesibukannya, dia juga memberi porsi bagi keluarga"Tempo hidup mesti diaturSabtu Minggu itu tutup pintu, cucu menentukanJadi, kalau kau minta aku Sabtu-Minggu interview, tidak bisa," ujar penggemar joging itu.

Dia juga disiplin menjaga makanan"Semakin tua, kurangi karbohidrat, perbanyak sayur, daun hijau, dan buah-buahan," kata Emil yang mengaku menyukai masakan Sunda karena banyak menu dedaunan tersebut

Ayah Roosminnie Roza Salim dan Rosdinal Rhamdhani Salim itu juga punya pesan kepada anak dan cucunya serta generasi yang seumur dengan mereka"Abad ke-21 itu abad otak!" tegasnya(kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bekerja di Studio, Diatur-atur Anak Buah


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler