Upah yang dicuri, eksploitasi, dan perbudakan modern seringkali dilaporkan sebagai skandal di Australia. Tapi ini jadi kejahatan biasa yang dialami para pendatang baru di Australia.
Sudah bertahun-tahun, Maddy dan James (bukan nama asli mereka) bermimpi pindah ke Australia dan menjadi warga negara Australia, lari dari rezim otoriter dan ketidakadilan di negara asal mereka, Tiongkok.
BACA JUGA: Minat Berwisata ke Benua Antartika Diperkirakan Terus Naik, Meski Biayanya Mahal
Untuk menggapai mimpinya, mereka diperkenalkan dengan seorang agen migrasi di tahun 2017, yang menjanjikan mereka akan mendapat pihak yang dapat memberikan sponsor visa kerja terampil dengan harga AU$100.000 atau lebih dari Rp 1 miliar dan nantinya mereka bisa menjadi 'permanent resident' (PR).
Membayar orang yang bisa memberikan sponsor visa adalah tindakan yang ilegal dalam sistem imigrasi di Australia.
BACA JUGA: Warga Tasmania Berkabung Atas Kematian Lima Anak-anak yang Meninggal Saat Bermain
Karena seharusnya sponsor diberikan oleh perusahaan atau pelaku bisnis untuk merekrut pekerja terampil dari luar negeri. Tapi sebaliknya yang sering terjadi adalah 'sponsorship' ini "dijual" oleh para agen migrasi mengatasnamakan perusahaan dan membuat mereka terjerumus pada praktik penipuan.
Banyak imigran yang akhirnya bisa menjadi penduduk tetap atau bahkan mendapat kewarganegaraan Australia dengan cara ini, tapi memilih jalur yang tidak sah membuat mereka beresiko tinggi untuk dimanipulasi dan dieksploitasi.
BACA JUGA: Angka Pengangguran Anjlok Setelah Lockdown Berakhir di Australia
"Kita datang dari negara yang otoriter, tak pernah menyangka kalau Australia bisa lebih buruk," ujar Maddy.
Untuk bisa mendapat uang sebanyak AU$100.000, dan biaya tambahan lain agar mereka bisa bertahan di Australia, kedua pasangan ini rela menjual semua rumah dan asetnya di Tiongkok hanya demi pindah ke Australia.
Dengan pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja di sektor pelayanan di Tiongkok, Maddy mendapat sponsor untuk bekerja sebagai seorang manajer sebuah hotel di Australia pada tahun 2019.
Tapi setibanya di tempat kerjanya, pimpinan Maddy mengatakan jika kemampuan Inggris-nya tidak cukup memadai untuk berada di posisi manajer dan ia malah diminta mengerjakan hal lain.
Hampir setiap harinya, Maddy bekerja mencuci piring, membersihkan kamar, membantu di dapur, melayani tamu hotel, apa pun yang disuruh manajernya.
Ia pun merasa kelelahan, terlalu lelah untuk bangun dari tempat tidur. Suaminya pun mulai membantu pekerjaanya, meski tidak pernah dipekerjakan secara sah di hotel.
Mereka bahkan menyewa kamar di hotel, tapi mereka mengaku harus selalu bersedia bekerja kapan pun dibutuhkan tanpa bayaran tambahan.
Meski gaji mereka dikirim ke akun bank, mereka memberikannya kembali secara tunai kepada manajernya sebagai bagian dari perjanjian, seolah-olah mereka menerima gaji.
Perjanjian itu juga menyebutkan mereka bekerja tanpa upah selama enam bulan, tapi Maddy mengatakan kondisi ini berjalan selama hampir dua tahun.
"Mereka memanipulasi kami," kata Maddy.
"Kita diberikan janji manis, dan diberitahu [oleh agen dan majikan] untuk bertahan lebih lama, tidak berbicara, dan kita akan dapat 'permanent residency'."
Awalnya Maddy merasa semua warga di Australia bekerja seperti dirinya, yakni sering bekerja lembur dan tidak dibayar.
Maddy mengatakan saat ia mencoba mengangkat masalah ini pada agennya atau manajernya, mereka akan melakukan perubahan yang sangat kecil, seperti memperbolehkan ia libur kerja dua hari seminggu.
Tapi seiring waktu, masalah yang mendasar terus muncul, bahkan lebih buruk. Mereka mengancam akan membeberkan bagaimana ia bekerja sehingga ia bisa dideportasi.
Karena mereka sadar jika proses sponsor visa ini ilegal, Maddy jadi takut untuk melaporkannya atau menceritakan kepada siapa pun karena takut ditangkap atauu bahkan dideportasi.
Maddy seringkali menangis sendirian di malam hari, merasa tidak ada jalan keluar, diselimuti rasa malu untuk menceritakan pada keluarga dan teman-temannya di Tiongkok.
"Tiongkok berada di bawah pimpinan satu orang, dan seharusnya Australia berada di bawah aturan hukum, tapi saya tak menyangka akan mengalami hal seperti ini," ujarnya.
Berharap untuk bisa mendapatkan status 'permanent resident' (PR) dalam beberapa tahun ke depan, Maddy dan suaminya mencoba bertahan dengan tabungan mereka dan saling memberikan dukungan moril satu sama lain.
"Semakin banyak yang kita lakukan, kita semakin merasa tidak mau gagal."
"Jadi kita bertahan, tidak berani untuk bicara, [berharap] mencapai mimpi kami tinggal di Australia."
"Tak ada yang tahu kami kerja tanpa dibayar, majikan kami yang punya kekuatan untuk memutuskan nasib kami, bukan Pemerintah Australia."
Tapi dalam dua tahun terakhir, selama pandemi COVID-19, semakin sulit bagi Maddy dan James untuk mewujudkan mimpinya.
"Kita kehilangan uang, harapan, kesehatan, dan bahkan kita tak bisa kembali ke Tiongkok," ujarnya.
"Keluarga kami di Tiongkok berpikir kita punya kehidupan yang baik di Australia," ujarnya.
Namun dalam pengecekan rutin yang dilakukan petugas dari Australian Border Force (ABF) awal tahun ini, pasangan ini mengatakan jika mereka sedang menyelidiki pihak hotel.
Setelah kehilangan uang sebanyak ribuan dolar dan tahu jika jalan mereka menuju status 'permanent residency' (PR) belum tentu bisa tercapai, mereka meninggalkan hotel tersebut.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan, mereka memberanikan diri melapor ke lembaga Fair Work dan seorang pengacara, kini kasus mereka akan didengar di pengadilan mulai tahun depan.
Pihak hotel menyangkal semua tuduhan dan mengatakan upah sudah dibayarkan, juga mengatakan James tidak pernah bekerja untuk mereka.
Namun, pengacara hotel tidak bisa menjawab pertanyaan lain yang diajukan ABC karena menjadi materi untuk pengadilan.
ABC juga sudah mencoba berulang kali untuk meminta tanggapan dari agen migrasi yang mengurus pasangan Maddy dan James.
Kini, mereka berdua berada di Australia dengan visa turis sambil menunggu nasib selanjutnya.
Meski kemungkinan besar mereka adalah korban eksploitasi, Maddy dan James percaya jika mereka termasuk yang "beruntung" karena bisa mendapat perhatian dari pihak otoritas.
Data statistik di Australia menunjukkan hanya satu dari lima korban eksploitasi atau perbudakan modern yang bisa diketahui pihak otoritas, meski diperkirakan ada 15.000 kasus di Australia dan 40 juta di dunia.
Seandainya Maddy dan James mendapat status PR atau jika mereka kemudian dideportasi, cerita mereka tidak akan pernah terdengar dan hanya menjadi angka dalam statistik. 'Kejahatan tersembunyi'
Meski tidak semua orang mau menceritakan apa yang dialaminya, seperti Maddy dan James, tapi cerita mereka adalah sama.
Setiap tahunnya imigran baru datang ke Australia karena adanya celah dalam sistem imigrasi di Australia, mereka harus hidup dengan kondisi dieksploitasi, sambil menunggu mendapat status 'permanent residency' atau berisiko dideportasi.
Sulit untuk tahu berapa jumlah pastinya, karena kasus yang mendapatkan penyelesaian pun tidak diketahui berapa banyak.
"[Pihak otoritas] tahu jika sistem ini bermasalah, tapi jika mereka tidak menyelidikinya, maka akan lahir para pelaku tindak kejahatan," kata Michelle, bukan nama aslinya, yang pernah bekerja sebagai pemijat.
Michelle datang ke Australia di tahun 2016 dengan kondisi yang sama dengan Maddy dan James, tapi setelah dieksploitasi di sebuah tempat pijat di Melbourne selama bertahun-tahun, Michelle kembali ke Tiongkok di tahun 2019 karena tak punya lagi bekal untuk hidup di Australia.
"Negara-negara demokrasi yang menggaungkan persamaan hak, keadilan, hak asasi manusia ... tidak bisa melakukan apa-apa dalam situasi itu," ujarnya.
ABC sudah mencoba mengontak bekas tempat kerjanya, mereka menyangkal semua tuduhan dan tidak menanggapi pertanyaan.
Laporan soal pencurian upah pekerja oleh majikan atau perusahaan besar, seperti 7-Eleven pernah menjadi berita utama di Australia, tapi penelitian terbaru menunjukkan eksploitasi, pencurian upah dan praktik ilegal lainnya menjadi hal yang biasa dialami mereka yang memiliki visa sementara di Australia.
Lebih parahnya, kondisi eksploitasi ini dilakukan secara sukarela oleh mereka demi bisa mendapatkan visa menetap.
Selama tiga tahun untuk riset laporan ini, ABC sudah bicara dengan lebih dari 100 pemegang visa sementara di Australia yang mengalami eksploitasi di tempat kerja dan terus mengikuti cerita mereka.
Kebanyakan orang tidak mau bicara kepada ABC, karena takut jika nantinya akan berpengaruh pada masa depan mereka atau tidak akan mendapat pekerjaan, karenanya nama-nama dalam laporan ini bukanlah nama sebenarnya.
Mereka yang bicara kepada ABC beragam, mulai dari pelajar internasional sampai 'backpacker' yang mendapat upah AU$12 [atau lebih dari Rp120 ribu] per jam, jauh dari upah minimum yang berlaku di Australia. Mereka juga mengalami kasus eksploitasi yang ekstrim dan perbudakan modern.
Kebanyakan dari mereka bekerja di kota-kota besar, di tempat-tempat yang dilewati dan dikunjungi oleh jutaan warga Australia setiap harinya.
Bahkan setelah mereka mendapat status warga negara Australia, masih banyak migran yang bekerja dengan situasi dieksploitasi selama puluhan tahun, karena tantangan bahasa dan tak memahami hak mereka, atau tak tahu harus meminta bantuan ke mana.
Agustus tahun ini, ABC bertanya bagaimana mereka dieksploitasi. Salah satu tanggapan di WeChat menyimpulkannya begini:
"Lebih mudah untuk mencari perusahaan mana yang tidak mengeksploitasi pekerja migran," ujarnya.
Mengingat adanya kepentingan antara mereka yang mengeksploitasi dan pekerja, yakni yang mau dibayar murah demi mendapat status penduduk tetap di Australia atau jadi tidak harus bayar pajak, para pengamat menilai digaji murah atau pencurian upah menjadi hal yang normal dan tersembunyi meski terlihat nyata.
"Sangatlah sulit untuk mengetahui sebarapa banyak yang jadi korban permudakan modern di Australia," kata Dr Erin O'Brien, peneliti soal perbudakan modern di lembaga Centre of Justice milik Queensland University of Technology di Brisbane.
"Salah satu alasannya adalah karena ini jadi kejahatan tersembunyi, kita kadang tak melihatnya atau tdak bisa mengidentifikasinya semudah itu."
"Kasus yang paling sering terjadi adalah saat seseorang datang ke Australia, untuk sekolah, liburan, bekerja dan saat mereka tiba, mereka biasanya dieksploitasi oleh majikan yang sangat tidak bermoral."
"Kita menemukan banyak kasus di mana mereka diperlakukan sebagai pendatang ilegal oleh polisi atau dianggap melanggar syarat visa mereka, padahal yang sebenarnya adalah mereka korban dari penyelundupan manusia."
Kondisi kerja di bawah standar dan upah pekerja yang rendah berbeda dari pengertian istilah "perbudakan modern", karena perbudakan modern menggambarkan skenario yang lebih ekstrem, ada unsur paksaan, ancaman, atau penipuan yang digunakan untuk mengeksploitasi korban dan mengambil kebebasan mereka.
Namun, para peneliti mengatakan kejahatan seperti pencurian upah dan kondisi kerja di bawah standar semestinya sering kali merupakan pertanda jika seseorang mungkin berada dalam kondisi perbudakan modern.
Sebuah survei di tahun 2017 menunjukkan lebih dari 4.300 pemegang visa sementara di Australia dari 107 kewarganegaraan merasa: "Australia memiliki pekerja migran yang tak terdengar, mereka digaji dibawah upah minimum di setidaknya 12 industri."
Semuanya bekerja di sekeliling kita, di restoran, hotel, perawatan kecantikan, toko buah, toko roti, taksi, supermarket dan toko-toko lainnya. Mereka bekerja dalam kondisi dieksploitasi.
"Menurut Anda, kenapa harga dumpling di kawasan Pecinan bisa murah?" kata seseorang kepada ABC.
Dr O'Brien mengatakan di saat warga Australia menikmati makanan dan barang yang murah, perlu disadari kemungkinan adanya eksploitasi yang tak terlihat.
“Kebanyakan konsumen tak sadar soal eksploitasi yang ada di balik barang dan layanan yang kita dapatkan," ujarnya.
Diperkirakan ekonomi gelap, seperti praktik 'cash-in-hand' yang memberikan upah secara tunai, bukan ditransfer ke bank, berkontribusi antara 3 hingga 15 persen pada pendapatan domestik Australia, artinya ada puluhan miliar dolar yang tidak terkena pajak dari sektor pekerjaan informal setiap tahunnya.
Mantan pejabat di Departemen Imigrasi Australia, Abul Rizvi, yang sekarang menjadi penasihat khusus untuk urusan imigrasi dan visa sementara di sebuah perusahaan komunikasi bernama Michelson Alexander, mengatakan seharusnya pendatang yang mendapat sponsor kerja setidaknya memiliki hak untuk bekerja penuh atau 'full time'.
"Visa kerja yang disponsori, dibanding visa sementara, memiliki perlindungan hukum lebih dibandingkan yang lainnya," ujarnya.
Istilah "yang lainnya" yang disebutkan Abul adalah mereka yang memiliki visa pelajar, peserta 'working holiday' (WHV), dan pekerja musiman seperti warga dari Pasifik yang bekerja dengan visa pertanian.
"Di bawahnya adalah mereka yang mencari suaka," ujarnya.
"Mereka-lah yang paling rentan, mereka tidak akan melapor atau mengadu pada siapa pun, karena mereka tidak bisa melakukannya."
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan soal perekonomian Australia dan melimpahnya barang dan layanan yang dinikmati begitu saja oleh warganya.
Para pekerja yang mengalami eksploitasi mengatakan kepada ABC jika mereka merasa tidak apa-apa dengan kondisi mereka, karena kompleksnya untuk bisa mengidentifikasi dan memecahkan masalah eksploitasi.
"Banyak pekerja migran kurangnya memiliki pengetahuan soal hak di tempat kerja di Australia, juga mengalami kesulitan bahasa dan tantangan budaya," ujar juru bicara dari lembaga Fair Work.
"Antara 2019 hingga 2020, 44 persen kasus yang kami ajukan ke pengadilan memiliki kaitan dengan masalah visa."
Juru bicara Fair Work juga mengatakan jumlah tersebut turun menjadi 32 persen di tahun 2020-2021, tapi penyebabnya karena 'lockdown' yang diberlakukan di Australia."
Sekarang Australia sudah mulai dibuka kembali, sejumlah pemilik usaha dan bisnis mengatakan kepada ABC jika mereka tak memiliki banyak pekerja seperti sebelum pandemi COVID-19, bahkan beberapa dari mereka mengaku model bisnis mereka ketergantungan dengan pekerja asing, yang terbiasa kerja lembur.
"Saatnya untuk pulang," pernah diucapkan Perdana Menteri Scott Morrison kepada pemegang visa sementara di Australia dan pelajar internasional saat Australia mulai memberlakukan 'lockdown' dan ratusan ribu imigran tidak bisa datang ke Australia.
Sekarang di saat Australia harus memutar kembali roda perekonomian, praktik eksploitasi bisa kembali terjadi, bahkan dengan skala yang diperkirakan akan lebih besar dari sebelumnya. Upaya menutup celah
Meski ada banyak laporan soal pihak otoritas yang mulai mengawasi kasus eksploitasi dan perbudakan modern, para pengamat mengatakan banyak hal yang harus dilakukan.
"Tak ada keraguan jika pekerja migran sangatlah penting bagi Australia," kata Dr O'Brien said.
"Mereka penting untuk ekonomi kita, mereka memperkaya budaya kita, jika kita tidak memperlakukan mereka dengan adil, maka kita pun tak akan memiliki kontribusi yang baik dari mereka yang datang ke Australia."
"Jadi ini adalah masalah serius yang harus diselesaikan. Sekarang."
ABC telah berbicara dengan Australian Federal Police dan Departemen Dalam Negeri, yang menaungi lembaga Border Force dan Office of the Migration Agents Registration Authority (OMARA) soal tanggapan mereka terkait upaya mengawasi eksploitasi dan saran apa yang bisa diberikan kepada mereka yang menjadi korban.
"Penyulundupan manusia, perbudakan, dan praktik sejenis benar-benar terjadi di Australia," kata juru bicara Australian Federal Police.
"Kebanyakan korbannya adalah berasal dari Asia Selatan, Timur Tengah, dan baru-baru ini dari kawasan Pasifik, banyak dari mereka mengalami eksploitasi perburuhan dan kawin paksa."
Pihak berwajib di Australia meminta agar mereka yang melaporkan dan korban untuk mau berbicara dan melaporkan situasi mereka, termasuk dugaan adanya kesepakatan dengan agen migrasi, tanpa takut akan ditindak secara hukum.
"Pemerintah secara rutin mengkalibrasi pengaturan migrasi agar bisa memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan memastikan para pendatang memiliki keterampilan yang bisa berkontribusi dan berintegrasi dengan masyarakat Australia," ujar juru bicara dari Departemen Dalam Negeri.
Juru bicara dari OMARA menambahkan mereka secara rutin bekerja sama dengan Australian Border Force "untuk memastikan pendekatan yang terkoordinasi untuk menyelidiki tindak kejahatan dan penipuan migrasi yang melibatkan agen migrasi dan penyedia bantuan imigrasi yang tidak sesuai hukum."
"Majikan tidak bisa membatalkan visa Anda, bahkan meski Anda melanggar kondisi visa yang disyaratkan, hanya Departemen Dalam Negeri yang bisa menolak atau membatalkan visa," ujar juru bicara Fair Work Ombudsman kepada ABC.
"Kita punya perjanjian dengan Departemen Dalam Negeri, yang disebut Assurance Protocols, di mana pemegang visa dengan hak kerja bisa meminta bantuan tanpa takut visa mereka dibatalkan."
Meski ada hukum dan upaya untuk menutup celah dalam sistem imigrasi di Australia, skala dan cakupan eksploitasi di Australia masih di luar jangkauan kemampuan pihak otoritas, menurut Abul.
"Saya rasa tak ada satu pun lembaga yang terlibat punya kemampuan cukup untuk menanganinya," ujarnya.
Juru bicara AFP mengatakan "warga secara umum punya peranan untuk memerangi perbudakan modern."
"Penyelundupan manusia sejak dulu sudah menjadi kejahatan yang tak dilaporkan, tapi dalam tujuh tahun terakhir ada peningkatan untuk merujuk dan menyelidikinya oleh Kepolisian Federal Australia."
"Ini adalah masalah di masyarakat dan tergantung dari kita semua untuk bekerja sama melindungi mereka yang rentan terhadap kejahatan eksploitasi ini."
Di tahun 2019, Pemerintah Australia mengumumkan Undang-Undang Perbudakan Modern, yang tujuannya agar pemilik usaha dan bisnis mengidentifikasi dan melaporkan risiko eksploitasi, sambil terus menjaga rantai pasokan yang etis dan transparan.
Tapi persyaratan ini hanya berlaku bagi perusahaan dan pemilik usaha yang besar dengan pendapatan tahunan sedikitnya sebesar AU$100 juta, yang artinya perusahaan kecil, termasuk mereka yang melakukan sponsor migrasi ilegal, tidak harus mengikuti persyaratan yang diatur hukum.
Felicity Gerry QC, yang pernah membantu merumuskan undang-undang tersebut, mengatakan persyaratan yang ada hanya fokus pada eksploitasi di rantai pasokan tapi tidak menyelesaikan masalah eksploitasi dan perbudakan modern yang ada di Australia.
"Kebanyakan orang berpikir jika perbudakan bisa hilang dengan dihapusnya perdagangan perbudakan, tapi pada kenyataannya memang sudah ilegal untuk memiliki orang," ujarnya.
"Sebelumnya memiliki orang adalah legal. Tapi bukan berarti praktik seperti ini bisa berhenti begitu saja."
"Jadi sekarang kita punya kategori-kategori soal kepemilikan budak, pemaksaan kerja dalam berbagai situasi pekerjaan di hampir semua negara, termasuk Australia."
Felicity mengatakan ada rencana nasional di Australia, tapi ada "celah", seperti ketergantungan pada korban dan mekanisme keadilan.
Di saat yang sama, pencurian upah dan sengaja membayar pekerja di bawah upah semestinya tidak menjadi tindakan kejahatan dalam hukum federal. Praktik ini hanya dianggap melanggar hukum di negara bagian Victoria dan Queensland, ini pun karena ada hukum yang baru yang diperkenalkan di dua negara bagian tersebut.
ABC juga menemukan banyak korban eksploitasi kemudian memiliki bisnis atau usaha yang kemudian memberikan sponsor kepada kerabat atau teman dari negara dengan cara yang sama.
"Ketika mereka datang ke Australia, mereka bekerja dengan majikan yang mengeksploitasi mereka," ujar Jacky Chen, seorang advokat hak migran yang juga anggota United Workers Union.
"Dan ketika mereka mendapat status penduduk tetap dan membuka usaha sendiri, mereka melakukan hal yang sama."
Jacky menambahkan ia juga pernah mengalami eksploitasi saat tiba di Australia.
"Saya sudah melihat bukti pemberian upah yang palsu atau bukti sejumlah majikan yang melakukan eksploitasi pada pekerjanya," ujarnya.
"Alasan mereka melakukannya karena mereka pikir mereka bisa terhindari dari bayar denda dan dendanya terlalu kecil, tidak membuat mereka takut."
Beberapa pelaku usaha yang berbicara dengan ABC mengabaikan konsekuensi dari memperkerjakan orang secara ilegal karena kecilnya jumlah denda yang harus dibayar.
Menindak serius eksploitasi tenaga kerja mungkin bisa dilakukan, tapi mengatasi masalah yang lebih luas, seperti pelajar internasional yang dibayar di bawah upah minimum akan sulit dilakukan, menurut para pengamat.
Abul mengatakan kurangnya tenaga untuk memperkuat aturan migrasi juga menyebabkan turunnya upah bagi orang yang bersaing dengan pekerja migran untuk mendapat pekerjaan.
"Kebanyakan orang di Australia tidak sadar dengan eksploitasi yang terjadi," ujarnya.
"Yang menyedihkan di Australia, kita akan semakin mengalami situasi di Amerika Utara dan Eropa, di mana pekerja migran dieksploitasi hingga ke tingkat yang ekstrim, kondisi yang tidak bisa diterima di Australia."
"Sayangnya ketakutan itu yang bisa saja terjadi sebentar lagi."
Dr O'Brien menegaskan pentingnya "gerakan konsumerisme etis" dalam memerangi eksploitasi dengan cara mengedukasi warga sebagai konsumen soal "produk dan layanan yang mereka nikmati dan memahami di balik produksinya."
"Mungkin beberapa layanan dan barang akan jadi mahal," ujarnya, karena harga yang murah biasanya disebabkan karena ekploitasi pekerjanya yang dibayar murah.
“Inilah perubahan budaya kerja yang harus dilakukan ke depannya."
Dalam beberapa bulan ke depan Maddy dan James akan memperjuangkan kasusnya di pengadilan. Tapi nasib mereka ke depannya di Australia masih belum jelas.
Tapi terlepas apa pun keputusannya di pengadilan, para pengamat yakin akan ada ribuan kasus seperti mereka. Dan dengan dibukanya kembali Australia untuk warga asing, terutama pelajar internasional dan pekerja terampil, eksploitasi di Australia masih akan jadi hal yang tersembuntii tapi terlihat nyata, jika tidak ada perubahan radikal yang dilakukan.
Kredit: Laporan & Riset: Grafik & Visual: Produksi & Penyunting: Produksi & Penerjemah:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keluarga di Australia Menunda Liburan ke Indonesia Sampai Anak-anak Divaksinasi