Tidak Ada Lagi Sidang PK Ahok, Berkas Dikirim ke MA

Selasa, 27 Februari 2018 – 05:12 WIB
Massa pendukung Ahok melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Senin (26/2). Foto: Ismail Pohan/INDOPOS/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Utara menggelar sidang perdana Peninjauan Kembali (PK) terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas kasus penodaan agama, Senin, (26/2).

Dalam persidangan tersebut, majelis hakim menyatakan berkas memori PK dari pemohon dan berkas pendapat Jaksa dari pihak termohon siap diajukan ke Mahkamah Agung (MA).

BACA JUGA: Putusan Hakim Banyak Keliru Jadi Dasar Ahok Ajukan PK

Sidang perdana PK Ahok dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mulyadi serta dibantu oleh dua anggota majelis hakim yakni Salman Alfarizi dan Tugianto.

Hakim Mulyadi membuka persidangan PK tersebut meskipun pihak pemohon yakni Ahok berhalangan hadir.

BACA JUGA: Ternyata Ini Alasan Ahok Ajukan PK, Bukan Banding

"Dalam persidangan ini, pihak pemohon yakni Basuki Tjahaja Purnama boleh diwakilkan oleh kuasa hukumnya," ujar Mulyadi yang membuka sidang PK tersebut sekitar pukul 10.00 WIB.

Mulyadi menjelaskan Ahok tidak wajib hadir dalam persidangan PK. Ketentuan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tentang Pemberlakuan Rumusan Kamar Pleno Pidana MA. Dalam Pasal 3 A tertulis, pemohon diperbolehkan diwakili oleh kuasa hukum.

BACA JUGA: Nasib PK Ahok Ada di MA

"Jadi ketidak hadiran pemohon tidak usah diperdebatkan dalam sidang ini karena aturannya sudah jelas," tegas Mulyadi.

Mulyadi kemudian meminta kuasa hukum Ahok yakni Fifi Lety Indra, Josefina Agatha Syukur, dan Daniel untuk menyerahkan memori PK.

Ada 156 lembar memori PK yang diserahkan Fifi yang juga merupakan adik kandung Ahok.

Dalam memori PK tersebut terdapat satu berkas tambahan. Tambahan itu berupa satu alinea yang diambil dari memori banding. "Ada tambahan dari pemohon satu alinea intinya mengirim dari memori banding," ujar Mulyadi.

Kemudian Mulyadi giliran meminta berkas pendapat jaksa dari tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang terdiri dari empat orang yakni Sapta Subrata, Lila Agustina, Ardito Muwardi, dan Fedrik Adhar.

Berkas pendapat JPU tersebut merupakan jawaban atas memori PK yang sudah dikirim sejak 2 Februari lalu.

Dalam persidangan tersebut JPU juga menyatakan bahwa tidak ada bukti baru atau novum. Hal itu membuat majelis hakim menyatakan bahwa tidak akan ada persidangan lanjutan.

Mulyadi menjelaskan bahwa dalam persidangan PK pihaknya bertugas untuk memeriksa keabsahan kedua dokumen tersebut. Nantinya kedua berkas akan dikirim ke MA dalam pekan ini.

"Setelah menimbang dan memeriksa secara formil, kedua berkas ini dinyatakan sah dan siap dikirim ke MA," ujarnya.

Sebelum menutup jalannya persidangan PK, Mulyadi menjelaskan bahwa pihaknya tidak berwenang dalam memberi putusan atas terkabulnya PK. Menurutnya, nantinya MA yang akan memberi putusan permohonan PK Ahok.

"Majelis yang ada di sini tidak memiliki kewenangan mengabulkan PK. Yang berwenang adalah MA. Kami hanya memeriksa berkas formil," ujarnya Mulyadi sambil menutup persidangan PK.

Sementara itu, kuasa hukum Ahok Fifi Lety Indra menjelaskan bahwa ada lima pokok memori dalam berkas PK setebal 156 lembar tersebut. Salah satu poin memori tersebut berkaitan dengan vonis Bumi Yani.

"Kasus Buni Yani memang kami masukkan itu sebagai salah satu dasar kami, yang kami gunakan salah satunya alasan kekhilafan hakim, ada juga alasan mengenai putusan terkait putusan Buni Yani," ujarnya.

Tim kuasa hukum Ahok keberatan dengan pertimbangan Majelis Hakim PN Jakarta Utara yang menyatakan perkara Ahok tidak ada kaitannya dengan video yang diunggah oleh Buni Yani.

Pasalnya, sebelum Buni Yani mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, tidak ada gelombang protes dari suatu kelompok baik yang menyaksikan langsung maupun yang menonton videonya di laman resmi Pemprov DKI.

“Lalu setelah ada postingan itu, barulah banyak peristiwa-peristiwa seperti ini (aksi unjuk rasa dan protes). Fakta itu sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim,” ujarnya.

Fifi juga menilai hakim telah khilaf karena melakukan penahanan dengan alasan khawatir yang bersangkutan mengulangi lagi perbuatannya. Padahal, saat divonis bersalah, Ahok langsung mengajukan banding.

“Salah satu yang meringankan Pak Ahok, karena beliau dianggap kooperatif oleh majelis hakim. Tapi kenapa Pak Ahok tidak ditangguhkan penahanannya? Padahal saat itu juga memutuskan untuk banding. Ini sesuatu yang bertentangan,” ujar Fifi.

Kemudian tim kuasa hukum Ahok menganggap hakim telah salah dalam menyimpulkan fakta terpenuhinya unsur pelanggaran Pasal 165 a KUHP.

Ahok didakwa melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Dalam berkas memori PK tersebut dilampirkan beberapa bukti bahwa adanya keterangan awal saksi yang tidak sesuai keterangan di persidangan. Video YouTube yang dijadikan bahan pelaporan tidak terbukti di persidangan.

Fifi juga menilai hakim sama sekali tidak mempertimbagkan saksi-saksi yang didatangkan terdakwa.

Majelis hakim dianggap mengabaikan fakta yang menguntungkan terdakwa ahok, sehingga hanya mempertimbangkan fakta dari pelapor yang memberatkan terdakwa.

Selain itu, Fifi menambahkan bahwa pihaknya keberatan dengan kesimpulan hakim yang menyatakan Ahok terbuti dengan sengaja melakukan tindak pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP.

Fifi menilai tidak mungkin mantan gubernur DKI Jakarta dengan sengaja menghina dan menodakan agama Islam, karena yang bersangkutan punya banyak keluarga angkat dan rekan dekat dari kalangan umat muslim. (has)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... JPU Tegaskan Kasus Ahok dan Buni Yani Berbeda


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler