Tiongkok Ubah Proyeksi, Indonesia Wajib Waspada

Senin, 06 Maret 2017 – 07:39 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - jpnn.com - Indonesia dituntut mencari pasar dan sumber foreign direct investment (FDI) lain.

Sebab, Tiongkok menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 6,5 persen.

BACA JUGA: Pakar Usulkan Penerapan Ekonomi Kekeluargaan

Selama ini, investasi dari Tiongkok cukup tinggi.

Terutama di sektor pertambangan, transportasi, konstruksi, dan pembangkit listrik. Pada 2013, Tiongkok masuk sepuluh besar penyumbang investasi Indonesia.

BACA JUGA: Duh, Capital Market Indonesia Jauh di Bawah Thailand

Pada 2014 dan 2015, peringkatnya meningkat ke posisi kedelapan.

Bahkan, pada tahun lalu, Tiongkok berada di posisi tiga besar dengan USD 2,7 miliar atau 9,2 persen total FDI Indonesia.

BACA JUGA: Pemerintah Diprediksi Tetap Lakukan Deregulasi

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Yoga Affandi menyatakan, Tiongkok sedang melakukan pengetatan kebijakan moneter dan lebih terbuka dengan investasi asing.

”Sikap terbuka ini karena AS memilih kebijakan proteksionis. Tiongkok sangat pintar memanfaatkan keadaan ini untuk menarik investasi asing,” ujarnya.

Deregulasi juga dilakukan karena Tiongkok mengalami capital outflow yang membuat investasi lari ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Jika hal itu tidak disikapi dengan baik, Indonesia bisa kecolongan.

Selagi harga komoditas naik, Indonesia dituntut memperbaiki sektor manufaktur agar nilai tambah meningkat.

Peningkatan ekspor komoditas bukan strategi yang mampu memperbaiki ekonomi secara struktural.

”Kenaikan harga komoditas itu cyclical. Sekali harga komoditas jatuh, kalau kita terlalu berharap ke situ, nanti kita susah menghadapinya,” terang Yoga.

Kemajuan sebuah negara, tutur dia, diawali dengan perubahan dari industri pendukung pertanian ke manufaktur, lantas berubah lagi ke jasa.

Jika Indonesia bisa memperkuat manufaktur, nilai ekspor ke Tiongkok dan negara-negara pasar lainnya akan meningkat.

Upaya tersebut sekaligus bisa menyelamatkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).

Selama ini, Indonesia memang masuk dalam jebakan itu dengan pendapatan per kapita USD 3.400 per tahun.

Untuk keluar dari middle income trap,  Indonesia harus memiliki produk domestik bruto (PDB) per kapita lebih dari USD 12.000 pada 2030.

”Bonus demografi yang dinikmati Indonesia saat ini juga mendukung penguatan industri manufaktur,” imbuh Yoga.

Indonesia juga harus mampu menarik wisatawan Tiongkok dengan memperbanyak penerbangan langsung.

Banyaknya penerbangan langsung dari Tiongkok ke Sulawesi terbukti meningkatkan turis dan mendorong pertumbuhan sektor UMKM.

”Nanti bisa mendatangkan uang dari wisatawan Tiongkok dan mungkin investasi FDI,” paparnya.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, Tiongkok melakukan rebalancing dalam bentuk deindustrialisasi dan peningkatan upah buruh. (rin/c25/noe)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mulai Januari, Aliran Dana Masuk Capai Rp 26 Triliun


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler