jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) masih menunggu Perppu yang menjadi payung hukum pemberatan hukuman bagi pemerkosa dan pelaku pencabulan terhadap anak, yang sudah diterbitkan Presiden Jokowi, kemarin (25/5).
“Kami belum membacanya. Belum mengetahui isinya,” terang Juru Bicara (Jubir) MA Suhadi kemarin (25/5).
BACA JUGA: Siapa yang Harus Menyuntik Kebiri? Begini Penjelasan PB IDI
Jika nanti dalam Perppu dan PP belum dijelaskan secara detail terkait hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, MA bisa mengeluarkan Peraturan MA.
Peraturan itu akan digunakan hakim dalam menyidangkan kasus kekerasan seksual sehingga tidak mengalami kesulitan dalam memutuskan perkara yang sekarang menjadi perhatian publik itu.
BACA JUGA: Simak! Penjelasan soal Penerapan Hukuman Kebiri
Sementara itu, tak semua menyambut positif diundangkannya Perppu yang mengatur tentang hukuman tambahan kebiri. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) termasuk yang menolak itu.
’’Secara umum kami menolak penggunaan kebiri dan hukuman mati sebagai pemberatan pidana,’’ kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam siaran persnya.
BACA JUGA: 10 Poin Penting Perppu Pemberatan Hukuman bagi Pemerkosa Anak
ICJR segera akan mempelajari isi Perppu Kebiri. Mereka akan memonitoring pasal kebiri yang tercantum dalam perppu tersebut. Termasuk juga mempelajari hak-hak korban apakah sudah diatur secara menyeluruh dalam perppu.
’’Setelah mempelajari itu kami akan menggelar diskusi untuk membahas rencana judicial review,’’ ujar Supriyadi.
Penanganan darurat kekerasan anak memang tak bisa diselesaikan hanya dengan menerbitkan aturan pengkebirian. Sebab, pelayanan yang berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan anak dan perempuan di sejumlah instansi selama ini masih tergolong buruk.
Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, penanganan dararut kekerasan pada anak dan perempuan di Indonesia harus diikuti pelayanan terhadap para korbannya.
Selama ini pemenuhan hak korban masih terseok-seok dalam hal pelayanan publik. Mulai dari layanan kesehatan, layanan proses hukum, sampai dengan rehabilitasi dan reintegrasi.
Menurut Ninik, selama ini pelayanan terhadap korban kekerasan anak dan perempuan cenderung tak ada bedanya dengan pelayanan umum lainnya. Padahal semestinya akses pelayanan publik terhadap mereka kekerasan harus terpadu.
’’Yakni pelayanan yang bersifat memberdayakan kembali mereka secara utuh melalui perlindungan hukum, penanganan medis, psikososial dan pendampingan,’’ kata Ninik.
Ironisnya, instansi yang punya tanggungjawab pelayanan terhadap korban kekerasan anak dan perempuan selama ini indeksnya masih buruk. Misalnya Kementerian sosial yang dalam survey kepatuah Ombudsman RI berada di zona kuning.
’’Padahal indeks tersebut merupakan tolak ukur untuk melihat sejauhmana instansi itu bertanggung jawab memberikan pelayanan publik dalam pemenuhan hak-hak korban,’’ jelas Ninik. (byu/gun/lum/idr/mia/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dor! Dor! Gunakan Senjata Produk Pindad, Raih Emas
Redaktur : Tim Redaksi