Tolong, Jangan Sampai Anak Pandai Tersisih karena Permainan Uang

Selasa, 11 Juli 2017 – 00:12 WIB
Uang. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, PALEMBANG - Masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMA/SMK kerap diwarnai persoalan berbagai pungutan kepada siswa. Hal ini sering memberatkan wali atau orang tua siswa baru, apalagi jika biayanya selangit.

Pengamat Pendidikan Prof Ratu Wardarita mengatakan, sering kali pungutan itu berdalih sumbangan sukarela dan mendapat persetujuan komite sekolah.

BACA JUGA: Mendikbud: Sekolah Gratis Itu Memang Menyesatkan

"Harusnya masalah ini bisa diatur. Jangan sampai menimbulkan kekhawatiran, karena takut sang anak tidak diterima di sekolah bersangkutan, orang tua terpaksa memberikan sumbangan yang jumlahnya mungkin tidak sedikit," sebutnya.

Bila ini terus menjadi budaya, sebutnya, dikhawatirkan anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan justru tidak diterima.

BACA JUGA: Pengeluaran Ortu Siswa Sudah Besar, Jangan Dipungli

Ratu menyarankan, dalam proses penerimaan harus dilakukan secara transparan. Jangan sampai ada permainan saat perangkingan penerimaan.

Anak yang pandai dikalahkan oknum yang memberikan sesuatu kepada sekolah. Apalagi jika sekolah itu banyak peminat, sedangkan daya tampung di sekolah tersebut terbatas.

BACA JUGA: Nilai Anak Cukup, Rumah Dekat Sekolah tapi tak Diterima, Orang Tua Kecewa

Tidak menutup kemungkinan wali siswa melakukan berbagai cara agar anaknya bisa lulus, termasuk memberi sejumlah uang.

Dia juga meminta, jangan ada perbedaan antara sekolah satu dengan yang lain. Jangan karena alasan sekolah itu berstatus sekolah unggulan, seakan diperbolehkan sebebasnya memungut uang dari wali siswa.

“Budaya ini harus dipangkas, jangan terus menerus dilakukan,” katanya. Dia berharap Dinas Pendidikan bisa benar-benar melakukan pengawasan. Berikan kesempatan yang sama kepada semua anak untuk berkompetisi secara sehat.

Ratu pun tak menampik adanya masalah jual beli buku atau seragam sekolah. “Kalau tujuan membantu dan memberikan harga tak jauh berbeda atau sama dengan harga pasar mungkin tak jadi masalah,” kata wanita yang juga akademisi Universitas PGRI Palembang ini. Tapi masalah sekarang, kadang harganya jauh lebih mahal atau dinaikkan dari harga pasar.

Seringkali juga terjadi, sebutnya, pihak sekolah memberi rekomendasi kepada penjahit atau toko tertentu dengan upah pemesanan lebih mahal untuk pembuatan seragam sekolah. Padahal masih banyak tempat penjahit yang lebih murah.

Sedangkan wali siswa sering membandingkan harga di pasaran. Akan lebih baik kalau wali siswa diberi keleluasaan memilih sendiri.

Terpisah, Pemilik Penjahit Bodronoyo yang tak mau disebut namanya mengaku pihaknya hanya membuat baju SMP dan SMA dengan harga mulai Rp150 ribu.

"Tapi sekarang order sekolah sepi, banyak konsumen beli langsung ke toko atau pedagang musiman, karena menilai pesan di toko jahit harganya jauh lebih mahal," tuturnya.

Rido, Penjahit Hikmah Brodir di Pasar Cinde, juga mengakui, beberapa pelanggan saja yang datang untuk menjahit baju sekolah maupun olahraga.

Untuk pakaian muslim SMA dibandrol Rp90 ribu, sementara batik Rp80 ribu, batik SD Rp70 ribu. Harga yang ditawarkan ini sangat murah, setiap tahun selalu diturunkan agar pelanggan tidak lari.

“Tapi sekarang sepi sekali, karena sebulan sebelum libur sekolah sudah banyak yang datang,” ungkapnya. (bis/uni/fad/ce4)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 20 Calon Siswa SMKN 3 Jayapura Kabur saat Tes Urine


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler