jpnn.com, JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menegaskan tembakan gas air mata oleh personel Brimob dalam tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menyebabkan 131 orang meninggal dunia, cacat prosedur.
"Kesalahan prosedur itu ketika dibawa ke dalam stadion dan ditembakkan," ujar Sugeng lewat pesan singkat kepada JPNN.com, Senin (10/10).
BACA JUGA: Tragedi Kanjuruhan, Irjen Dedi Jelaskan Jenis Gas Air Mata Yang Digunakan Brimob
Sugeng juga menyoroti penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa oleh aparat kepolisian dalam tragedi itu.
"Kondisi kedaluwarsa gas air mata buat IPW justru sangat memprihatinkan," ujar Sugeng.
BACA JUGA: Tragedi Kanjuruhan Malang: Polri Akui Pakai Gas Air Mata Kedaluwarsa
Menurut Sugeng, hal itu bertanda bahwa Polri kekurangan anggaran untuk pengadaan gas air mata.
"Saya mendengar bahwa untuk anggaran gas air mata satu tahun itu Rp 160 miliar, itu sangat kurang. Karena untuk 34 polda, 400 polres itu sangat kurang," ucap dia.
BACA JUGA: Irjen Dedi Sebut Kematian Korban Tragedi Kanjuruhan Bukan Karena Gas Air Mata
Sugeng menyatakan bila digunakan gas air mata yang sudah kedaluwarsa artinya anggaran Polri perlu ditingkatkan kembali.
"Anggaran Polri harus ditinjau dan ditingkatkan kembali agar tidak ada barang yang kedaluwarsa," tutur Sugeng.
Sebelunya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengakui gas air mata yang digunakan personel Brimob dalam tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10), telah kedaluwarsa.
Irjen Dedi menyebut beberapa gas air mata itu telah kedaluwarsa sejak 2021.
"Ada beberapa yang diketemukan, ya. Yang 2021 ada beberapa," ucap Dedi di Mabes Polri, Senin (10/10).
Dalam tragedi Kanjuruhan, seusai laga Arema FC vs Persebaya menewaskan 131 orang meninggal dunia.
Polri juga telah menetapkan enam orang tersangka dalam tragedi itu. (cr3/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tragedi Kanjuruhan: 11 Polisi Tembakkan Gas Air Mata Atas Perintah 3 Orang Ini
Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Fransiskus Adryanto Pratama