Pandemi COVID-19 tidak akan berakhir begitu saja, tapi secara perlahan dan membutuhkan waktu lama.

"Saya tidak tahu apakah di satu hari nanti kita akan terbangun dan mengatakan 'semuanya sudah berakhir'," kata Profesor Eddie Holmes, pakar masalah evolusi virus di University of Sydney.

BACA JUGA: Kominfo dan MUI Bicara Soal Strategi & Inovasi untuk Bangkit dari Pandemi

"Saya kira ini akan terjadi perlahan, lalu kita akan melihat virus ini dengan pemikiran yang berbeda."

Kebanyakan pakar setuju menghilangkan  virus COVID-19 dari muka bumi merupakan hal yang mustahil saat ini.

BACA JUGA: Malaysia dan Indonesia Khawatir Pakta AUKUS Picu Perlombaan Senjata Nuklir di Asia

Bahkan dengan tingkat vaksinasi yang tinggi sekali pun, yang secara global angkanya masih rendah, kecil kemungkinan kita akan bisa menghentikan penyebaran virus SARS-CoV-2 ini menurut Ian Mackay, pakar masalah virus University of Queensland.

"Kita memiliki begitu banyak virus yang beredar saat ini, sehingga kebanyakan vaksin akan sulit untuk mencegahnya menular, sehebat apa pun vaksin tersebut."

BACA JUGA: Australia Berencana Memperketat Tes Karakter Bagi Warga Migran, Terpidana Kasus Tertentu Akan Dideportasi

Meski pun juga nanti 'herd immunity' belum tercapai, vaksin masih bisa mencegah kita menderita sakit parah akibat COVID-19.

Artinya lebih sedikit warga yang harus dirawat di rumah sakit karena COVID-19 dan lebih sedikit yang meninggal.

Menurut Profesor Eddie, dengan berjalannya waktu, COVID-19 akan sama seperti penyakit menular lainnya, contohnya flu.

Penyakit ini akan menjadi endemi, menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun bisa ditangani lebih baik sehingga tidak banyak yang meninggal.

"Di negara yang memiliki tingkat vaksinasi tinggi pun, virus masih akan ada di sana," katanya.

"Namun yang paling penting adalah kita bisa mengurangi beban untuk menangani penyakit ini." Berubah dari pandemi menjadi endemi

Dengan pelonggaran aturan pembatasan, Australia memasuki masa transisi untuk "hidup bersama COVID".

Jumlah kasus COVID diperkirakan akan meningkat setelah aturan dilonggarkan, seperti yang sudah terjadi di negara lain, seperti Singapura dan Inggris.

Bukti menunjukkan virus corona akan dengan mudah dan cepat menyebar bagi mereka yang belum divaksinasi. 

Tapi bagi yang sudah divaksinasi, mereka pun masih bisa tertular karena perlindungan vaksin akan memudar.

"Kita mungkin tidak harus terlalu memikirkan mengenai jumlah kasus lagi," kata Profesor Eddie.

Menurut Dr Ian, mereka yang masih berisiko adalah warga lanjut usia dan yang memiliki gangguan kekebalan tubuh atau 'immunocompromised'.

"Kita masih akan melihat kelompok warga yang akan mengalami gejala serius karena mereka tidak bisa divaksinasi atau sistem kekebalan tubuh mereka tidak bisa bekerja dengan baik.

"Apa yang terjadi dengan long COVID adalah masalah lain. Apakah vaksin melindungi semua ini. Saya masih belum bisa memberikan penjelasan sepenuhnya. Saya kira tidak seorang pun tahu saat ini."

Untuk melindungi dari kemungkinan munculnya penyakit serius dan agar sistem layanan kesehatan tidak kewalahan, peneliti masalah virus dan penyakit menular di Griffith University, Lara Herrero mengatakan pelonggaran pembatasan sebaiknya dilakukan secara bertahap.

"Mereka yang tidak memiliki kekebalan bisa terkena virus dan karenanya kita harus membuka diri secara bertahap," katanya.

Kebijakan sekarang yang beralih dari target "Nol kasus COVID" adalah berusaha menekann angka kematian serendah mungkin. Menurunnya tingkat perlindungan dari vaksin

Berapa lama tepatnya waktu dibutuhkan hingga COVID-19 menjadi endemi sulit dipastikan.

Ini semua akan berbeda antar negara, tergantung pada tingkat vaksinasi, tingkat kekebalan dalam masyarakat setempat dan jumlah virus yang beredar.

Professor Eddie mengatakan para pakar saat ini sedang memperhatikan data dari negara seperti Denmark, yang sudah memiliki tingkat vaksinasi tinggi dan melonggarkan semua pembatasan sejak 10 September.

"Denmark sudah memutuskan 'kita sekarang hidup bersama dengan COVID, ini merupakan bagian dari kehidupan kita," katanya.

"Namun kita harus melihat apakah mereka akan mengatakan hal yang sama enam bulan mendatang."

Menurut Dr Ian, kebijakan untuk "hidup bersama COVID" juga akan tergantung pada keputusan pemerintah mengenai jumlah kasus dan kematian yang bisa diterima.

"Beberapa orang mengatakan hidup dengan COVID artinya 'biarkan saja sepenuhnya' dan mengandalkan tingkat vaksinasi untuk mencegah kasus dan kematian," katanya.

"Tetapi yang lain ingin adanya perlindungan yang lebih tinggi, dalam usaha menghentikan penularan sama sekali." COVID-19 akan jadi seperti flu

Profesor Eddie menjelaskan virus SARS-CoV-2 nantinya akan menjadi seperti penyakit flu biasa.

"Perkiraan saya adalah akhirnya ini akan menjadi penyakit musiman yang terjadi di musim dingin di mana kasusnya akan meningkat," katanya.

"Bila virus ini bermutasi, maka diperlukan variasi vaksin baru untuk menanganinya."

Dr Lara juga sepakat virus yang sekarang menyebabkan COVID-19 nantinya akan menjadi penyakit musiman, namun dengan "konsekuensi lebih serius".

"Kita harus terus memonitor virus karena akan terus bermutasi, sehingga kita tidak mengalami pandemi berikutnya lagi," katanya.

"Banyak orang tidak menyadari, setiap tahunnya vaksin flu itu dikaji dan dinilai kembali dan kemudian diubah bila memang diperlukan."

Dr Ian mengatakan kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah SARS-CoV-2 akhirnya berperilaku seperti empat virus corona lainnnya, yakni menjadi flu biasa.

Ini berarti orang akan terkena flu di masa kecil, kemudian mendapat flu berkali-kali di sepanjang hidupnya, tapi hanya mengalami gejala ringan .

Yang tidak diketahui saat ini adalah seberapa lama evolusi tersebut akan terjadi.

"Bisa berlangsung enam bulan, bisa juga bertahun-tahun, bisa juga 10 tahun, hingga akhirnya kita nyaman hidup berdampingan dengan virus."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penularan COVID-19 Meningkat di Sekolah yang Guru dan Muridnya Tidak Pakai Masker

Berita Terkait