Urus Izin Kena Tuduh Kristenisasi, Buka Dapat Fitnah Islam Garis Keras

Jumat, 11 Februari 2011 – 08:08 WIB
TELADAN: Julianto Eka Putra (tengah) bersama para murid SMA Selamat Pagi Indonesia dari berbagai suku dan agama di kompleks sekolah Bumiaji, Batu, Jawa Timur. Foto : Abdul Rokhim/Jawa Pos

Tanpa banyak pencitraan, semboyan bangsa "berbeda-beda, tapi tetap satu jua" dipraktikkan bertahun-tahun di sebuah sekolah di lereng Pegunungan Panderman, Batu, Jawa TimurPuluhan murid remaja dari berbagai daerah, suku, dan agama bersama-sama menyambut masa depan dengan gembira dan hebatnya; tanpa biaya

BACA JUGA: Gelar Resepsi Pernikahan, Sekda Nganjuk Jadi Tersangka gara-gara Terop Roboh



==================================
  Andanisware-Abdul Rokhim, Surabaya
==================================
   
HAMPARAN lapangan basket dengan dua gedung tiga lantai warna oranye menjulang, menyambut setiap pengunjung yang memasuki kompleks SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Bumiaji, Batu
Embusan angin segar pegunungan dan hijau sawah di belakangnya membuat siapa saja betah berlama-lama di kompleks sekolah seluas enam hektare itu

BACA JUGA: Kisah Nayati, Saksi Hidup Penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang


   
Namun, apa yang tampak tersebut hanya sebagian kecil dari karunia Tuhan yang ditunjukkan di kawasan pendidikan yang berdiri pada 2007 itu
Saat melangkah masuk lebih jauh, terlihat remaja-remaja dengan aneka "bentuk rupa" berseliweran

BACA JUGA: Dulu Bahagia Pegang Senpi, Kini Pegang Cangkul

Mereka selalu ramah tersenyum dan mengajak bersalaman sambil mencium tangan jika berpapasan dengan siapa saja pengunjung yang usianya dirasa lebih tua dari mereka.

Menurut Julianto Eka Putra alias Ko Jul, pengagas berdirinya SMA Selamat Pagi Indonesia, walaupun 90 murid yang belajar berasal dari beragam daerah, agama, dan suku, nilai-nilai sopan santun ketimuran dan toleransi kepada siapa saja memang menjadi dasar semua kegiatan dan pelajaran"Prinsip kami memberikan life skillMurid bisa pintar, tapi kalau tidak punya sopan santun dan saling menghargai sesama, tidak ada gunanya," ujar pengusaha muda yang sukses di bisnis multilevel marketing High Desert (HD) tersebut.

Prinsip yang ditekankan Ko Jul itu memang terlihat nyata saat menengok aktivitas belajar mengajar di kelas-kelasDi salah satu kelas yang didatangi, yakni kelas III IPS, misalnya, Sarah dan Charles asal Jayapura bercanda lepas dengan Martha asal Semarang dan Fitri asal Kalimantan Timur, saat menunggu pelajaran dimulaiKeceriaan juga terlihat di kelas I

Umay asal Batam, Daud asal Papua, dan Ardhi asal Bandung, bersama teman-temannya memberikan surprise kepada Bu Guru Ria yang berulang tahunPerbedaan penampilan fisik, tingkah laku, dan logat bicara malah membuat ruang kelas yang sempit karena hanya berukuran 3 x 4 penuh dengan keriangan

Tak hanya dalam bergaul, dalam perilaku sehari-hari, kerukunan juga selalu dijagaYulita, siswi kelas II asal Senawar, Kalimantan Timur, mengungkapkan, mereka saling mengingatkan jika ada teman lupa beribadah"Saya akan tegur jika ada kawan Islam yang lupa salat," ujar dara 17 tahun penganut Katolik itu

Mewujudkan keindahan perbedaan itu diakui Ko Jul tidak mudahDia mengaku butuh waktu 10 tahun untuk mendirikan SPI"Setelah menyaksikan dahsyatnya dampak kerusuhan Mei 1998, saya membuat visi membangun sekolah gratis untuk semua golongan," ungkapnyaVisi itu sempat disepelekan oleh kolega dan keluarga Ko Jul"Wajar saja, sebab gaji saya masih pas-pasan kok mau bikin sekolah gratis untuk anak se-Indonesia," kenangnya lantas tertawa.

Namun, tekad dan kerja keras arek Suroboyo asli yang lahir 39 tahun lalu itu perlahan-lahan membuat orang-orang terdekatnya yakin"Dari semula menentang jadi mendukung, bahkan rela memotong lima persen penghasilan untuk sekolah ini," ungkapnyaUntuk membeli tanah dan bangunan, Ko Jul mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 9 miliar

Ketika fisik sekolah sudah siap, kendala lain munculIzin dari dinas pendidikan sempat terkatung-katung hampir satu tahunPenyebabnya, muncul isu bahwa Ko Jul dan teman-teman melakukan gerakan Kristenisasi"Namun, Tuhan selalu punya cara menolong kamiAtas bantuan tokoh-tokoh pendidikan dan pemuka Muhammadiyah dari Universitas Negeri Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang, seperti Ibu Ratih Juliati dan Profesor Nyoman Degeng, isu itu hilang dan izin keluar," ujarnya.

Akhirnya SPI bisa memulai kegiatan pada tahun ajaran 2007/2008Namun, beberapa bulan beroperasi, lagi-lagi rumor tak sedap kembali munculKarena lokasi sekolah di lereng bukit dan tidak tampak langsung dari jalan utama Bumiaji?Selecta, kembali ada rumor bahwa SPI adalah sekolah eksklusif Islam garis keras

Maklum saja, Kota Batu sempat menjadi berita seantero nusantara karena dijadikan persembunyian gembong teroris Dr Azhari"Lagi-lagi dengan pendekatan kekeluargaan dan membuka diri kepada siapa saja yang ingin tahu, isu itu akhirnya hilang," ujar Ko Jul.

Terbantahkannya aneka isu negatif itu membuat SPI semakin diterima masyarakatKini, Ko Jul dan pengurus sekolah serta para donatur fokus agar SPI terus berkembangMaklum saja, biaya operasional SPI sangat besarItu karena para murid didatangkan dari seluruh provinsi di Indonesia tanpa biaya

"Kami tidak pakai kriteria-kriteriaan, seperti harus pintar, harus ganteng, dari agama apa, golongan apa, dan sebagainyaYang penting, mereka dari keluarga tidak mampu dan punya motivasi kuat ingin maju," ujarnyaRekan-rekan usaha Ko Jul yang melakukan verifikasi dan merekomendasikan untuk diterima di SPI"Setiap tahun kami menargetkan terima 35 murid baru," ujarnya

Murid yang terpilih akan mendapat biaya pendidikan dan kebutuhan hidup mulai makan, pakaian, dan tempat tinggal selama mereka menuntut ilmu hingga lulusTahun lalu SPI berhasil meluluskan 26 siswa angkatan pertamaDari jumlah itu 19 anak pulang ke kampung halaman dan tujuh siswa bertahan di SPI untuk mengembangkan unit-unit usaha

"Kami memang mengembangkan produksi keripik snack, minyak angin, pelatihan SDM, serta kawasan rekreasi edukatif Kampung Kidz," urai Ko JulAktivitas di unit usaha itu dilakukan setelah kegiatan belajar serta pada saat libur Sabtu, Minggu, dan hari besar nasional.

Rupiah dari unit usaha itu sebagaian untuk menambal biaya operasional sekolah dan sebagian kecil untuk uang saku para murid yang bekerja"Konsep sekolah wirausaha itu membuat sebagian murid dan alumni sudah bisa mandiri, bahkan membantu keluarga," ujar Ko Jul

Dia mencontohkan Haris, salah satu murid asal Madura yang ayahnya bekerja sebagai tukang becakDari uang saku di SPI, Haris kini bisa membantu biaya sekolah adiknya

Ke depan, Ko Jul berangan-angan SPI menjadi teladan bagi siapa saja yang mendambakan kedamaian dari perbedaan"Kalau mau membantu, nggak usah lihat agamanya apa, sukunya dari manaAsal dia manusia, mari kita bantu," ajaknya(*/c2)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bunaken Nyala 24 Jam, Pulau Lain Menyusul


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler