JAKARTA - Sidang lanjutan pengujiaan materil Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara kembali digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (9/3)Kali ini, penggugat menghadirkan I Nyoman Nurjaya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sebagai saksi ahli
BACA JUGA: Pemerintahan SBY Harus Dipertahankan Sampai 2014
Menurut I Nyoman, UU Minerba belum secara khusus mengatur sehingga perlu ada Peraturan Pemerintah yang menjabarkan
BACA JUGA: Cicilan KPR PNS Tinggal 8 Persen
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terkait proses penetapan wilayah pertambangan (WP) belum mencerminkan genuine public participation.“Pasal-pasal itu terlihat pelibatan masyarakat bersifat ‘basa-basi’, semu, meski Pasal 10 huruf a tersebut menyebut kata partisipatif,” katanya I Nyoman di hadapan majelis hakim saat memberikan keterangan
I Nyoman menjelaskan pelibatan masyarakat yang bersifat semu itu dapat terlihat dalam Pasal 10 huruf b yang menyebutkan penetapan WP oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemda dan DPR, dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan pendapat instansi terkait, masyarakat dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial
BACA JUGA: Ikrar: Boediono Ban Serep Kempes
“Kalau kita baca Pasal 10 huruf b, partisipasi masyarakat tidak genuine dalam penetapan WP,” katanyaSementara Pasal 162 kata I Nyoma pula hanya mengatur kriminalisasi bagi masyarakat, tidak mengatur sanksi pidana bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika tidak memenuhi kewajibannya sesuai Pasal 136 terkait penyelesaian hak atas tanah bagi pemegang IUP atau IUPK.
“Mengapa tidak diatur sanksi pidana bagi pemegang IUP/IUPK jika tidak memenuhi kewajibannya? UU Minerba hanya mengatur sanksi bagi masyarakat dan pejabat yang mengeluarkan IUP/IUPK yang tak sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata ahli yang sengaja diihadirkan oleh pemohon itu.
Menurutnya, pasal-pasal itu jauh dari prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan“Apakah prinsip itu sudah tercermin dalam norma-norma itu? silahkan dinilai,” tandasnya.
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan 3 pemohon yang berbeda yakni Fatriansyah Aria dan Fahrizan, Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) dan Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (Astrada) Provinsi Bangka Belitung, dan Walhi, KPA, Kiara, PBHI, Solidaritas Perempuan, Nurwenda dkk.
Fatriansyah dan Fahrizan meminta MK membatalkan Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU MinerbaDua pasal termasuk dari 11 pasal yang diuji oleh APTI dan Astrada yakni Pasal 22 huruf a, huruf c, huruf f, Pasal 38, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, Pasal 173 ayat (3) UU Minerba.
Pasal-pasal yang diuji dinilai berpotensi memperkecil atau menghilangkan kesempatan masyarakat untuk berusahaHal itu yang sangat diskriminatif dan merugikan pengusaha kecil dan menengah bidang pertambangan timah, khususnya di provinsi Bangka BelitungSalah satunya syarat luas minimal Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang harus dipenuhi bila ingin memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP)(kyd/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harus Fokus, KPK Jangan Pusingkan Perubahan UU
Redaktur : Tim Redaksi