jpnn.com - JAKARTA - Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI Dio Ashar mengatakan, satu tahun kepemimpinan Jaksa Agung Prasetyo masih banyak pelanggaran yang dilakukan oknum jaksa. Terutama, kata Dio, dalam persidangan kode etik dan hukum acara. "Kami memang melihat masih banyak pelanggaran perilaku jaksa," kata Dio dalam penjelasan "Catatan Kinerja Kejaksaan Paska Satu Tahun HM Prasetyo", di Jakarta Rabu (18/11).
Dia mengatakan, performa jaksa penuntut umum di persidangan patut mendapatkan sorotan. Berdasarkan pemantauan MaPPI pada 2014, ditemukan ada 199 penyimpangan dari 392 persidangan yang dipantau. "Artinya, ada 50,8 persen persidangan yang di dalamnya jaksa-jaksa melakukan pelanggaran baik secara etik maupun pelaksanaan hukum acara pidana," kata Dio.
BACA JUGA: Enam Jam Tidak Cukup, RJ Lino Bakal Diperiksa Lagi
Ia mencontohkan, pelanggaran tersebut antara lain ketika persidangan sudah dimulai, pihak terdakwa sama sekali tindak mendapatkan salinan surat dakwaan serta berkas perkaranya. Dari hasil pemantauan yang dilakukan, terdapat 44 pelanggaran terhadap 95 kasus yang dipantau pada proses pembacaan surat dakwaan.
"Padahal jika mengacu pada ketentuan 143 ayat (4) KUHAP, sudah jelas mengatur bahwa penuntut umum wajib memberikan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan kepada tersangka atau pihak penasehat hukumnya," paparnya.
BACA JUGA: Setelah Freeport, Muncul Surat Ketua DPR Intervensi Pertamina
Kedua, keterbatasan anggaran penanganan perkara di kejaksaan membuat penuntutan menjadi tidak maksimal. Dalam laporan tahunan Kejaksaan 2011, kejaksaan menganggarkan 10.100 kasus tidak pidana umum (pidum) yang akan dituntut. Uniknya, kejaksaan dapat menuntut sebanyak 96.488 kasus atau 955.32 persen dari anggaran yang tersedia. "Fakta ini perlu dikritisi untuk memperjelas sumber pendanaan 86.388 perkara yang tidak dianggarkan," ujarnya.
Dia menambahkan untuk mengatasinya, kejaksaan kemudian menambah jumlah perkara yang dianggarkan. Hal ini dapat dilihat di laporan tahunan kejaksaan tahun 2012, Korps Adhyaksa menaikan jumlah perkara yang ditangani menjadi 112.422 perkara. "(Atau) 102.322 lebih banyak dari perkara yang dianggarkan pada tahun 2011," ungkapnya.
BACA JUGA: Gara-Gara Gratifikasi Perabotan Rumah, Masinton Minta KPK Sadap RJ Lino dan Rini
Oleh karena keterbatasan anggaran negara, Kejaksaan menyiasatinya dengan mengurangi besaran anggaran per perkara. Jika pada tahun 2011 diberikan Rp 29,5 juta per perkara, maka pada tahun 2012 berkurang menjadi Rp 5,8 juta per perkara, dan kembali mengalami pengurangan menjadi Rp 3,3 juta pada tahun 2013.
Akibatnya, kata dia, sejumlah jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar.
"Kejaksaan sendiri mengakui bahwa minimnya anggaran penanganan perkara menjadi salah satu penyebab praktik korupsi," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kecewa, Warga NTT Datangi KPK Desak Usut Tuntas Setya Novanto
Redaktur : Tim Redaksi