jpnn.com - JAKARTA - Partisipasi Wajib Pajak (WP) peserta program amnesti pajak semakin meningkat mendekati hari akhir periode pertama.
Layanan perlu ditingkatkan seiring semakin panjangnya antrean dan proses pengurusan dokumen bisa sampai lebih dari sehari.
BACA JUGA: Tiga Konsep Desain Ulang BPR
Frenky (33) termasuk warga yang meminta agar layanan bisa semakin efisien. Dia tidak menyangka perjuangannya berangkat subuh tidak membuahkan hasil.
"Saya dapat nomor antrean 81," ucapnya saat ditemui Jawa Pos di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), jalan Gatot Subroto, Jakarta, kemarin sore (24/09).
BACA JUGA: Kinerja Perbankan Syariah Melambat
Berangkat dari rumahnya di kawasan Angke, Jakarta Utara, jam 5 pagi kemudian jam 6 kurang sudah ikut mengantre.
Antrean awal dilakukan di gedung baru berlokasi di bagian belakang komplek Ditjen Pajak itu.
BACA JUGA: Suku Bunga Kredit Perbankan Sulit Segera Turun
Setelah sekitar satu jam menanti antrean dipindahkan ke gedung bagian depan atas arahan petugas keamanan.
"Awalnya yang suruh antre di gedung tinggi (bagian belakang) itu juga sekuriti. Terus disuruh pindah dan ternyata sudah antre banget," kisahnya.
Pria berkacamata itu sudah membawa berbagai dokumen diperlukan. Dia mengaku memiliki aset properti dan kendaaan yang ingin dilaporkan untuk diikutsertakan dalam program amnesti pajak.
"Programnya bagus dan hitung hitung menyukseskan program pemerintah juga," kata pria oriental berkacamata itu.
Sekitar jam 3 sore, dia mendapat kabar bahwa layanan ditutup. "Saya dengar tadi yang masuk terakhir nomor 85. Kenapa tidak diteruskan saja ya sampai selesai," sesalnya.
Nomor 85 dimaksud Frenky sebagai yang terakhir adalah bagian dari gelombang pertama sampai nomor urut 100.
Sedangkan nomor 81 miliknya masuk daftar antrean gelombang kedua di hari kemarin.
Frenky mengeluhkan layanan yang terjadi mulai dari antrean sampai hal teknis lainnya termasuk soal informasi. Bekal nomor urut 81 di tangan belum jaminan menjadi prioritas saat dia akan mengantre hari ini (25/09).
"Seharusnya registrasi hari ini, selesai hari ini. Nggak tahu besok apa saya harus datang jam 3 pagi," pikirnya.
Dua dokumen akan dia ikut sertakan dalam program itu. Satu atas nama pribadi dan satunya lagi atas nama badan (perusahaan).
"Saya sudah bayar (uang tarif tebusan) pakai id billing secara online. Perbaiki lagi lah sistem pelaporannya. Kita sudah bayar tapi dipersulit," keluhnya.
"Nggak fair! Saya dapat nomor 55. Itu tadi terakhir (di daftar antrean loketnya) nomor 53. Sekalian saja kenapa sehari ini," sahut seorang pria berpenampilan rapi yang enggan disebutkan namanya.
Dia sengaja berangkat dini hari dari Garut, Jawa Barat, usai mengirimkan bantuan logistik dari lembaga sosialnya.
Sampai di kantor Ditjen Pajak sekitar jam 8 pagi kemarin. "Mestinya tambah loket lah kalau begini," usulnya.
Dari pengamatan Jawa Pos, Ditjen Pajak mencoba memberikan fasilitas kepada WP yang antre, meskipun sederhana. Terdapat galon air lengkap dengan dispensernya dan gelas sekali pakai. Ada teh, gula, dan kopi.
"Ya kalau mau minum sih ada. Makan ya beli sendiri," ucap Eka (28) karyawati kantor konsultan pajak di kawasan Green Garden, Jakarta Barat. Sama seperti yang lain, dia juga mengantre sejak pagi.
Bedanya, Eka mengirim kurir untuk mulai ikut mengantre sejak jam 05:20. Dia datang menyusul jam 8 pagi bersama tiga rekannya. Masing-masing membawa tiga dokumen berbeda.
"Klien kami cukup banyak, seratusan lebih. Jelang periode akhir tahap pertama ini memang kita mesti turun semua karena klien juga ingin ikut serta," kata dia.
Dari total 9 dokumen dibawa, hanya satu yang berhasil masuk dan diserahkan ke petugas. "Macam-macam lah yang didaftarkan. Rumah, deposito, mobil, motor," terusnya.
Sekitar jam setengah lima sore, Eka dan timnya meninggalkan lokasi. "Besok ke sini lagi dan kita tidak tahu nomor antreannya masih berlaku atau mengulang dari awal lagi. Kita juga sudah daftar untuk Senin, Selasa, dan Rabu," akunya.
Berdasarkan informasi yang dia peroleh, hari Kamis dan Jumat depan layanan akan ditutup.
"Saya dengar tutup karena itu sudah hari terakhir periode pertama. Takutnya katanya antreannya banyak," sebut Eka.
David (35) asal Grogol, Jakarta Barat, menyikapi lebih serius antrean berbuah kosong yang dia alami kemarin.
"Tambah loket dua kali sampai tiga kali lah semestinya kalau memang ada antisipasi. Ini program bagus ya. Coba deh pak Jokowi blusukan dong, lihat deh situasi di bawah supaya bisa lebih sukses program ini," sarannya.
Ikhtiar para WP memang sudah tinggi. Dia dan peserta lainnya sudah datang sejak pagi.
"Sejak pagi sekali kami sudah antre. Kalau bisa pengaturan antre jangan diserahkan ke sekuriti lah. Kalau bisa dari fungsional sehingga jelas dan pasti informasinya. Sekuriti tadi pagi arahkan kita ke tempat beda tapi ternyata di tempat semestinya tidak terlalu antre. Itu bagaimana?" David kesal.
Situasi sama tidak hanya terjadi di kantor pusat Ditjen Pajak. Dia pernah mendatangi kantor pajak di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, dan mendapat informasi di kantor pajak Kelapa Gading, Jakarta Utara, situasinya tidak lebih baik.
"Teknisnya tidak mendukung. Jangan korbankan WP yang sudah menyambut baik. Sudah bayar, laporan, buang waktu dari pagi," ketusnya.
Hingga tadi malam pihak Dirjen Pajak belum bisa diminta konfirmasi terkait semakin panjangnya antrean itu. Hingga Jumat (23/09) malam sudah terdapat 140 WP berpartisipasi.
Rata-rata saat ini keikutsertaan mencapai sekitar 15 ribu WP per hari di seluruh Indonesia dan berpotensi terus meningkat.
Antrean panjang sampai tidak cukup sehari prosesnya akibat kelemahan teknis di lapangan itu lah menjadi salah satu alasan utama dorongan perpanjangan periode pertama program amnesti pajak.
”Kesiapan administrasi sangat penting. Sekarang antrean menumpuk. Orang ikut berhari-hari baru mendapat tanda terima. Nah kalau semakin ke belakang (jelang akhir September), semakin tidak banyak terlayani dengan baik, kasihan juga,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo saat berbincang di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (21/09).
Perlu disiapkan sistem administrasi yang lebih baik. Bila perlu, menurutnya, dibuat sistem pengisian formulir elektronik (e-filling).
”Orang bisa mengisi di komputer, internet, tinggal disubmit. Yang lain terfasilitasi, walau tarif rendah, yang ikut banyak kan secara agregat bagus,” usulnya.
Dari pengamatan langsung saja, kata Yustinus, animo masyarakat tinggi. Namun belum teredukasi dengan baik sehingga masih perlu waktu tambahan.
”Saya itu beberapa hari ini di Samarinda, Palembang, Batam, banyak yang belum tahu. Padahal mereka ingin ikut. Kalau mereka kena 3 persen (tarif tebusan periode kedua), malah takutnya nggak jadi ikut kan. Jadi banyak yang distorsi,” ujarnya.
Wajar jika proses mengikuti program amnesti pajak cukup rumit. Beda dengan pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
”Orang menerima SPT gampang ya, sudah standar. Kasih tanda terima, e filling. Kalau sekarang ini kan harus diteliti dulu. Ini wajib, ini yang bikin lama. Meneliti bisa 30 menit sampai 40 menit. Sehari bisa melayani 100 orang, bakal selesai berapa lama? Makanya harus kasih kesempatan Ditjen pajak untuk menyiapkan sistem lebih baik,” ulasnya.
Sejak Undang Undang Amnesti Pajak disetujui sampai tahap sosialisasi dan realisasi memang relatif singkat.
Maka wajar jika masih ada beberapa kekurangan dalam teknis pelaksanaan. ”Justru karena alasan itu sebenarnya perlu diperpanjang,” pikirnya.
Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, menyebut secara umum program amnesti pajak diukur dari tujuan jangka panjang, dianggap sudah berhasil.
”Tidak ada dalam sejarahnya ibu rumah tangga, kakek-kakek, nenek-nenek datang untuk tanya dan tahu tentang pajak dan tax amnesty itu sendiri. Program ini sudah membangun kesadaran. Ini modal utama yang jauh lebih penting dari sekadar penerimaan Tax Amnesty itu sendiri. Tanpa harus menunggu periode akhir menurut saya ini sudah berhasil,” ucapnya kepada Jawa Pos, awal pekan ini.
Hal yang jauh lebih penting dari program itu, kata dia, memang menggugah pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara luas terkait perpajakan.
Dengan begitu maka Indonesia kini sudah memiliki modal dasar penting. ”Tinggal dikelola dan dimenej dengan baik agar jadi wajib pajak patuh ke depannya,” terusnya.
Darussalam menyebut bahwa perluasan basis pajak, kesadaran akan pajak, merupakan hal utama. Sebagai target jangka panjang agar ke depan penerimaan pajak jauh lebih baik dan transparan.
Sebaliknya penerimaan uang tebusan dan repatriasi merupakan target dan penerimaan jangka pendek. ”Saya tidak terjebak di uang tebusan,” akunya.
Meski begitu, terkait dengan target jangka pendek berupa penerimaan tambahan pajak, Darussalam masih optimistis. Periode pertama selama tiga bulan yang berakhir September ini memang menawarkan tariff paling rendah dan secara hitungan paling menarik.
Akan tetapi selisihnya sebesar satu persen dibandingkan periode dua yang lebih besar diyakini tidak berpengaruh banyak. Tidak akan mengurungkan minat untuk mengikuti program tersebut.
”Karena perbedaan tarif untuk deklarasi pun tidak terlalu tinggi. Selisih satu persen lebih mahal tidak sebanding dengan manfaat yang dia terima. Manfaat yang diterima jauh lebih besar,” ujar ahli pajak dari Universitas Indonesia (UI) itu.
Maka dia meyakini pada periode dua akan tetap seramai pada periode pertama. Atas dasar itu dia mengatakan tidak bisa mengukur sukses atau tidaknya program amnesty pajak dari sisi pendapatan uang tebusan dengan hanya diukur dari periode pertama.(gen)
Komposisi Uang Tebusan Hingga 24 September 2016:
Orang Pribadi (OP) non UMKM: Rp 36,0 triliun
Orang Pribadi UMKM: Rp 1,37 triliun
Badan non UMKM: Rp 3,74 triliun
Badan UMKM: Rp 49,6 miliar
Total: Rp 41,1 triliun
*) Ditjen Pajak
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sertifikasi Usaha Pariwisata Terkendala Biaya Auditor
Redaktur : Tim Redaksi