jpnn.com - Meski keturunan pahlawan Paderi, perjuangan Haji Rasul memurnikan ajaran Islam tidak menggunakan kekuatan fisik yang frontal dan meledak-ledak seperti gerakan Paderi.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Netrwork
BACA JUGA: Pilot Perang Dunia II Inilah yang Merekam Lagu Karangan Bung Karno
NAMA aslinya Muhammad Rasul. Lahir 10 Februari 1879 di Jorong Betung Panjang, Kenagarian Maninjau, dalam Luhak Agam, dari rahim seorang ibu bernama Siti Tarsawa.
Ayahnya Muhammad Amrullah gelar Tuanku Kisai cucu dari Tuanku Pariaman, ulama kenamaan yang usai perang Paderi (1803-1838, versi lain 1821-1837) menetap di lereng bukit sekitar danau Maninjau.
BACA JUGA: Irama Record, Babad Alas Industri Musik Indonesia
Kepada Rasul, Tuanku Kisai tak bosan-bosan menceritakan romantisme perjuangan leluhurnya, sewaktu perang Paderi.
Juga cerita masa-masa Tuanku Pariaman memimpin pengajian di masjid Muaro Pauh.
BACA JUGA: Harta Karun Talaga Warna, Kota yang Hilang Di Tanah Sunda (2/habis)
Bahwa dulu, leluhurnya tempat bertanya, terutama soal-soal agama.
Saban malam, tidak kurang seratus orang labai (ustadz) datang berguru ke Tuanku Pariaman. Puluhan dama (pelita) menerangi masjid.
Berguru
Usia 10 tahun, selain kepada ayahnya, Rasul juga mengaji Al-Qur’an di Barung-Barung Belantai, Koto Sabaleh, Tarusan, Pesisir Selatan kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Faqih Said.
Usia 13 tahun, Rasul diserahkan ayahnya kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf di Sungai Rotan, Pariaman untuk belajar kitab fiqih Minhaj Al-Thalibin-nya Imam Nawawi serta tafsir Jalalain.
“Sepulang dari Sungai Rotan dalam usia 16 tahun, ia diantarkan ayahnya ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, putra Minang yang jadi imam besar Masjidil Haram, pada 1894,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam Pada Masyarakat Minangkabau.
Saat menyerahkan Rasul ke Syaikh Ahmad Khatib di Mekah, sebagaimana diceritakan Buya Hamka dala buku Ayahku, Tuanku Kisai menekankan, “sebelum dapat belum boleh pulang!”
Sekadar catatan, Rasul--lebih dikenal Haji Rasul, Inyiak Rasul, Inyiak De Er--adalah ayah Buya Hamka.
Jembatan Besi
Tujuh tahun Rasul berguru di tanah Arab. Pada 1901, begitu kembali ke Maninjau, dia malah berhadapan-hadapan dengan pemuka thariqat naqsyabandiyah yang tak lain ayahnya sendiri.
Kala itu, Naqsyabandi menjadi perbincangan serius di Mekah. Bahkan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menulis kitab Izharu Zuqhal Al-Kazibin, yang menentang keras tariqat tersebut.
Rasul yang setelah pulang dari Mekah lebih karib disapa Haji Rasul menghindari konfrontasi dengan ayahnya. Dia memilih pergi memimpin pengajian di Surau Jembatan Besi Padang Panjang.
Meski keturunan pahlawan Paderi, perjuangan Haji Rasul memurnikan ajaran Islam tidak menggunakan kekuatan fisik yang frontal dan meledak-ledak seperti gerakan Paderi,
Melainkan dengan gerakan intelektual murni.
Persamaannya dengan kaum Paderi hanya pada aliran Wahabi yang dibawa Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang ke Minangkabau, 1803.
Disebut aliran Wahabi karena ketiga haji itu berguru kepada Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab di Mekah. Aliran ini bertumpu pada Al-Qur’an dan hadist.
Dipimpin Haji Rasul, pengajian di surau itu harum hingga negeri seberang. Orang-orang datang belajar agama tidak hanya dari selegoran Minangkabau.
Banyak juga yang jauh-jauh datang dari Tapanuli, Aceh, Bengkulu, Malaya, Siam dan Siak.
Dari Siak paling banyak. Sampai-sampai semua orang yang belajar agama, di ranah Minang disebut urang siak--hingga hari ini. Sebutan urang siak ini lebih kurang serupa dengan santri di tanah Jawa.
Di tangan Haji Rasul pula surau itu menjelma jadi sekolah Sumatera Thawalib yang di kemudian hari diakui sebagai sekolah modern Islam pertama di negeri yang hari ini bernama Indonesia.
(baca: Sumatera Thawalib, Sekolah Modern Islam Pertama Di Indonesia) (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harta Karun Talaga Warna, Kota yang Hilang Di Tanah Sunda (1)
Redaktur : Tim Redaksi