jpnn.com, JAKARTA - Bagi para orang tua, penemuan yang disampaikan Koordinator Nasional End Child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) Indonesia, Ahmad Sofian, ini patut menjadi perhatian bersama dalam menyikapi aktivitas anak di media sosial.
Dalam penelitian ECPAT, disebutkan bahwa anak-anak menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan seksual secara daring, yang kerap kali dijebak melalui akun-akun palsu di media sosial.
BACA JUGA: RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Dianggap Ganggu Demokrasi Bangsa
"Yang pertama dilakukan pelaku kejahatan seksual daring ialah 'grooming online', yaitu bujuk rayu di media sosial menggunakan akun seolah-olah menjadi anak-anak, dokter, atau pencari bakat," kata Sofian dalam sosialisasi internet aman untuk anak inisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Kamis (5/9).
BACA JUGA: Kejahatan Seksual Dominasi Kasus Anak di Bekasi
BACA JUGA: ICW Tuding Revisi UU KPK Akal-akalan Elite Supaya Sulit Ditangkap KPK
Sofian mengatakan, proses "grooming online" bisa berjalan dalam waktu yang lama hingga anak yang menjadi sasaran percaya dengan pelaku. Ketika anak sudah percaya, langkah yang dilakukan kemudian ialah "sexting".
"Sexting" adalah percakapan melalui media sosial yang mengarah pada aktivitas seksual. Pada tahapan ini, anak yang menjadi sasaran juga diminta mengirimkan foto atau video yang tidak senonoh.
BACA JUGA: Masyarakat Papua Antusias Saksikan Kehebatan Tentara Langit
"Ketika pelaku mengaku sebagai dokter, dia mengaku bisa mengobati penyakit tertentu dan meminta anak yang menjadi sasaran mengirimkan foto atau video tidak senonoh dengan dalih untuk melihat tubuh korban," tutur Sofian.
Ketika pelaku sudah mengantongi foto atau video tidak senonoh anak yang menjadi korban, pelaku kemudian melakukan "sextortion", yaitu pemerasan seksual dengan ancaman foto atau videonya akan disebarluaskan.
"Pelaku bisa memeras dengan meminta uang atau aktivitas seksual lainnya. Pada saat itu anak yang menjadi korban sudah sangat kesulitan karena sulit menolak, di sisi lain pelaku bisa saja tetap menyebarkan foto atau video tidak senonohnya," sambungnya lagi.
Untuk memenuhi permintaan pelaku, misalnya berupa uang, tidak jarang anak yang menjadi korban akhirnya harus mencuri uang orang tuanya atau temannya. Pada akhirnya, anak terjebak untuk melakukan tindakan melanggar hukum.
"Karena itu, anak-anak harus paham perilaku berisiko yang mungkin terjadi di media sosial dan internet. Menurut pemantauan yang ECPAT Indonesia lakukan di Indonesia pada 2018, terdapat 150 kasus eksploitasi seksual anak dan 379 anak yang menjadi korban," pungkasnya. (dewanto s/ant/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Agus Rahardjo: KPK di Ujung Tanduk
Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha