Gotong royong, salah satu identitas budaya bangsa Indonesia, telah membuktikan sebagai modal bersama dalam menghadapi pandemi virus corona. Namun, di sisi lain solidaritas warga seringkali muncul di saat pemerintah dianggap tidak cukup mampu dalam menangani masalah.
Setiap mengantar-jemput istrinya, Herlambang Wiratraman mencoba menjadi pendengar yang baik.
BACA JUGA: Menyandang Status Paling Parah di Jabar, Depok Perpanjang PSBB
Istri Herlambang, dr Movita Hidayati, adalah koordinator penanganan COVID-19 di RS Paru Jember, Jawa Timur, yang juga rumah sakit rujukan untuk pasien COVID-19.
Di tempat kerja istrinya, persedian alat perlindungan diri (APD) semakin berkurang, Herlambang pun mencoba menawarkan bantuan.
BACA JUGA: Klarifikasi Satgas Lawan COVID-19 DPR soal Heboh Impor Jamu dari Tiongkok
Istrinya sebenarnya sudah terpikir membuka jalur donasi sebagai solusi keterbatasan APD di rumah sakit tempatnya bekerja, tapi ia masih ragu.
"Saat saya mengatakan kesediaan membantu mencarikan donasi, istri saya minta saya menunggu dulu karena ia khawatir menyalahi prosedur," tutur Herlambang kepada Hellena Souisa dari ABC News.
BACA JUGA: Kabar Warga Indonesia di Selandia Baru Setelah Aturan Lockdown Dilonggarkan
Photo: Herlambang Wiratraman dan istri, dr Movita Hidayati, Sp.P. Herlambang memutuskan membantu istrinya mengupayakan donasi APD. (Supplied: Herlambang Wiratraman.)Ketersediaan APD di rumah sakit tidak memadai
Persediaan baju hazmat di rumah sakit istrinya bekerja saat itu hanya ada 50 buah. Artinya, dengan total tujuh orang petugas medis per hari, persediaan pakaian pelindung sekali pakai tak akan sampai delapan hari.
Setelah mendapat lampu hijau dari istrinya, Herlambang bergerilya mencari donasi melalui media sosial dengan bantuan beberapa kawannya.
Komitmen Herlambang adalah bentuk dukungannya kepada istrinya. Apa yang telah dilakukan istrinya, menurut Herlambang, sudah melampaui kapasitasnya sebagai koordinator penanganan COVID-19. Photo: Pekan lalu sebanyak 250 hazmat hasil donasi warga telah diterima dr Movita Hidayati yang sehari-hari bertugas di RS Paru Jember, Jawa Timur. (Supplied: Herlambang Wiratraman)
"Biar istri dan timnya bisa fokus kerja, saya bantu menggalang donasi APD," ujar Herlambang.
Hasilnya, akhir pekan lalu Herlambang berhasil mendapatkan kiriman donasi sebanyak 250 baju hazmat.
Donasi warga saat bantuan dari pemerintah tidak dapat diharapkan, sangatlah berarti, menurut Herlambang.
"Saya bersyukur dibukakan pintu oleh beberapa kawan di Jakarta untuk penggalangan donasi ini. Para perawat juga ikut terharu saat mendapat kiriman APD donasi," tambah Herlambang.
Herlambang yang berprofesi sebagai dosen ini, sempat menyampaikan kondisi rumah sakit rujukan tempat istrinya bekerja ke seorang rekan di lingkaran pemerintah.
Tapi hingga kini tak ada hasilnya.
"Ya, daripada hanya menunggu, lebih baik melakukan apa yang bisa dilakukan," katanya. 'Majelis mau jahitin' (Mamajahit) Photo: Budhi Hermanto (kiri) mempelajari pembuatan dan standar baju hazmat hasil masukan dari media sosialnya. (Supplied: Budhi Hermanto.)
Kurangnya jumlah APD juga menggerakan Budhi Hermanto untuk membantu petugas kesehatan, setelah ia mencoba minta dites virus corona di sebuah rumah sakit di Yogyakarta.
Sempat bersikeras dengan dokter lantaran permintaannya untuk dites ditolak, Budhi memperhatikan dokter yang memeriksa dan tenaga medis lainnya yang tidak dilengkapi denbgan APD.
"Kalau kemudian para dokter dan perawat ini benar positif [corona] dan harus diisolasi, lalu siapa yang mengobati orang-orang sakit?" kata Budhi.
Sepulang dari rumah sakit itu, Budhi kemudian bertekad mencari APD untuk dibagikan kepada para tenaga kesehatan.
Ia kemudian berupaya mencari penjahit yang bersedia menjahit baju APD secara sukarela, yang ia sampaikan juga di akun media sosialnya.
Lewat unggahannya di Twitter, Budhi juga mendapat banyak masukan soal pembuatan baju APD, mulai dari modul pembuatan, pola, sampai standar kualitas bahan yang disyaratkan WHO. Photo: Dibantu beberapa dokter, Budhi Hermanto memerlukan sekitar 5 hari untuk menyempurnakan baju hazmat Mamajahit sejak propotipe dibuat. (Supplied: Budhi Hermanto.)
"Saat saya baca dan pelajari, memang ternyata rumit. Tapi bisa dikerjakan," ucapnya yang juga keluar-masuk toko kain untuk menemukan bahan yang sesuai.
Prototipe baju hazmat kemudian dibawa Budhi ke para dokter untuk dicoba, sambil menerima masukan untuk menyempurnakan baju hazmat jahitannya.
"Setelah semua dokter … menyatakan, 'oke, [baju] ini sudah aman dan nyaman digunakan' barulah saya mulai memproduksi dalam jumlah banyak untuk disumbangkan kepada para tenaga kesehatan di Yogya," ujarnya.
Untuk pengujian kualitas dan keamanan, Budhi juga sudah mengirimkan baju jahitannya ke Pusat Pencegahan Penyakit Menular dan Balai Besar Tekstil milik Kementerian Perindustrian. Sudah melibatkan 62 penjahit
Budhi menilai sebenarnya tugas negara untuk memastikan ketersediaan APD, sebagai 'alat perang' bagi para tenaga kesehatan ini di seluruh pelosok Indonesia.
Tapi ia memilih untuk membuat baju hazmat dengan keterlibatan komunitas Majelis Mau Jahitin (Mamajahit). External Link: Mamajahit
Dari awalnya yang hanya melibatkan enam orang, kini ada 62 penjahit di Yogyakarta yang terlibat.
Baju hazmat buatan Mamajahit dibagikan gratis kepada tenaga medis, sementara biaya pembuatan baju hazmat Mamajahit sepenuhnya dibiayai dari donasi warga yang menyumbang.
"Paramedis di Yogya dan sekitarnya [kami minta] mengisi form di google spreadsheet terkait apa kebutuhannya dan di rumah sakit atau puskesmas mana mereka berasal."
"Setelah baju hazmatnya siap, kami distribusikan ke rumah sakit berdasarkan skala prioritas yang mendahulukan rumah sakit rujukan COVID-19," jelas Budhi.
Budhi mengatakan ada pula donatur yang memesan APD buatannya untuk dikirimkan ke rumah sakit lain di luar Yogya.
Harga baju Hazmat yang bisa digunakan berkali-kali adalah Rp125.000, sementara yang sekali pakai Rp60.000, sudah termasuk ongkos menjahit Rp15.000 per baju.
Ada pula donatur yang menyumbang kain, benang, bahkan makanan bagi para penjahit. External Link: MamaJahit2
Meski sampai saat ini ide sederhananya sudah bisa memproduksi 5.400 baju hazmat berbekal donasi, Budhi merasa apa yang dilakukannya belum seberapa.
"Dibandingkan dengan jumlah kebutuhan paramedis se-Indonesia yang sangat besar, apa yang kita lakukan kecil sekali."
Ia mengaku tidak tahu sampai kapan bantuan akan bertahan, tapi ini membuatnya harus mengambil strategi "pelan-pelan" dalam melakukannya.
"Karena jangan-jangan nanti sudah lewat Mei dan Juni, belum selesai [pandemi corona] juga, paramedis sudah kehabisan APD dan kita sudah nggak bisa bantu," tuturnya kepada wartawan ABC, Hellena Souisa. Dari 'sarapan gratis' sampai 'paket tetap sehat'
Di ibukota Jakarta, salah satu warganya, Claudia Lengkey memilih berbagi dengan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Claudia bahkan mengaku sudah melakukan bagi-bagi makanan sebelum pandemi corona, setelah melihat kesenjangan di kawasan tempat tinggalnya yang dikenal sebagai "kawasan mentereng".
"Di depan rumah saya banyak sekali lewat pemulung, pedangan asongan, pokoknya banyak banget yang saya lihat dan rasanya jadi kayak langit dan bumi," kata Claudia.
Bersama ibunya, Claudia kemudian memutuskan untuk menyediakan sarapan gratis (sartis), sejak akhir tahun lalu.
"Idenya memberi makan sarapan, supaya full energi sebelum bekerja," kata Claudia yang awalnya hanya menyediakan 20 porsi sarapan pagi gratis per minggu ini. Photo: Claudia memulai inisiatifnya dengan memberi sarapan gratis untuk orang-orang yang kekurangan di sekitar rumahnya. (Supplied: Claudia Lengkey)
Inisiatif yang dibagikan melalui media sosialnya kemudian diminati sejumlah teman-temannya yang lain sehingga berkembang lebih besar.
Claudia kemudian bisa membagikan tidak kurang dari 80 porsi per minggu, bahkan kini bisa berbagi hingga tiga kali seminggu.
Lokasinya pun menjadi tiga titik, ditambah wilayah Kemang dan Manggarai, di luar pembagian keliling yang dilakukan Claudia.
Saat wabah corona, Claudia juga menerima berbagai kiriman donasi, hingga ia memutuskan untuk membagikan 'paket tetap sehat', berisi sabun, 'hand sanitizer', dan masker. Photo: Claudia Lengkey memilih untuk melakukan apa yang bisa dilakukan sesuai kapasitasnya melalui 'sarapan gratis'. (Supplied: Claudia Lengkey)
"Saat sarapan gratis itu kami juga sambil berusaha mengedukasi warga untuk lebih memperhatikan kesehatan mereka," ujar Claudia yang juga memberlakukan aturan jaga jarak saat sarapan gratis berlangsung.
Meskipun sudah ada kebijakan menjaga jarak dan pemberlakuan PSBB, Claudia merasa banyak warga yang memang masih merasa ragu.
"Memang ada orang yang merasa kebutuhan lainnya lebih penting. Bagaimana mau PSBB atau physical distancing ya, kalau misalnya mereka harus cari uang?" tambah Claudia merujuk kepada orang-orang tidak mampu yang kerap dibantunya.
Claudia mengaku pernah mendengar beberapa cerita jika tidak semua orang menerima bantuan utuh dari pemerintah, tapi itu bukan menjadi fokusnya.
"[Saya] enggak mau ngurusin yang itu. Aku sama temen-temen sartis memilih melakukan apa yang bisa kita lakukan, itu aja akhirnya," tandasnya. Solidaritas warga mengisi kekosongan negara
Inisiatif yang dilakukan oleh Claudia Lengkey, Budhi Hermanto, Herlambang, dan berbagai kegiatan lainnya yang banyak terlihat di jejaring sosial saat ini mengingatkan bangsa Indonesia pada prinsip gotong-royong.
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Moeloek, solidaritas atau gotong-royong sebenarnya adalah jati diri bangsa, yang dimiliki setiap suku di Indonesia.
"Ini sebenarnya modal sosial yang harus terus menerus dipupuk oleh bangsa Indonesia," ujar Hamdi, dikutip dari Liputan6.com
Modal sosial ini, menurutnya, adalah semacam unsur penting untuk membuat sebuah negara bisa bergerak maju, lewat saling percaya sebelum bantuan uang, barang, dan teknologi datang membuat lompatan ke depan.
Ia menambahkan, kondisi pandemi seperti saat ini telah membuat rakyat Indonesia kembali ke modal sosialnya, yaitu gotong royong.
Namun peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengingatkan dilihat dari kapasitas fiskal negara, alokasi belanja Indonesia untuk perlindungan sosial memang sangat kecil. Photo: Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira, menilai ada unsur ketidakmampuan pemerintah di balik gerakan solidaritas warga. (Supplied: Bhima Yudhistira.)
"Sebelum COVID-19, rasio belanja sosial terhadap GDP Indonesia hanya 2,1%, terburuk di Asia. Itu artinya, tanpa COVID-19 saja secara fiskal jaring pengaman sosial kita tidak siap," kata Bhima kepada Hellena Souisa dari ABC.
"Menurut saya, munculnya berbagai solidaritas masyarakat itu karena mereka sadar kalau menunggu dari [bantuan] pemerintah terlalu lama dan sulit diharapkan," tambahnya.
Selain itu, menurut Bhima, masih banyak warga yang khawatir bantuan yang diterimanya akan dikorupsi.
Bhima berharap, dengan kapasitas yang terbatas, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran bersadarkan skala prioritas.
Selain realokasi anggaran ibukota baru, misalnya, ia juga pernah mengusulkan presiden untuk menimbang ulang keberadaan lembaga-lembaga negara yang tidak produktif dan tidak bermanfaat, seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
"Buat apa menggaji pembinanya ratusan juta rupiah per bulan, menghabiskan Rp208 miliar per tahun untuk BPIP?"
"Sekarang kita perlu Pancasila di perut orang miskin dan di perut orang yang di-PHK," pungkasnya
Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tempat Pijat Nekat Buka Saat PSBB, Begini Jadinya