Harapan besar menghinggapi para janda dan ahli waris korban pembantaian oleh tentara Belanda di Rawagede, Karawang, Jabar, setelah gugatan mereka dimenangkan pengadilan Den HaagMeski sudah berusia sangat lanjut, mereka ingin memiliki rumah sendiri dan lepas dari ketergantungan pada anak dan cucu.
Moh
BACA JUGA: Kebanggaan dan Kegundahan Orang-Orang Indonesia di Boeing
Hilmi Setiawan, KarawangMENCARI Kampung Rawagede cukup sulit jika hanya berbekal peta
BACA JUGA: Jadi Tukang Ojek pun Siap, Orang Tua Sempat Kecewa
Tapi, bila mau bertanya kepada penduduk Karawang, mereka akan langsung menunjukkan sebuah kampung yang dikitari areal persawahan di Desa Balongsari, Kecamatan RawamertaBACA JUGA: Babak Baru Alfred Riedl, mantan Pelatih Timnas Indonesia
Pada pengujung musim kemarau seperti sekarang ini, di hampir sepanjang jalan menuju desa tersebut tersaji pemandangan hamparan tanaman padi yang baru saja dipanenMeski letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan, infrastruktur jalan menuju Rawagede sudah bagusSepanjang jalan sudah ditutup aspal dan sebagian lagi dicorMeski begitu, di beberapa titik, aspal terasa bergelombang, bahkan ada yang sedikit bolong.
Begitu masuk Desa Balongsari, monumen pembantaian warga Rawagede oleh tentara Belanda pada Selasa, 9 Desember 1947, menyambut dengan gagahMonumen itu diresmikan pada 12 Juli 1996 oleh KASD Jenderal RHartonoMonumen tersebut berbentuk seperti kuncup bunga melati
Makna di balik bentuk itu adalah cita-cita dan harapanSelain itu, bagi warga setempat, bunga melati selalu mendampingi setiap fase kehidupan manusiaMulai lahir, menikah, hingga mati.
Monumen yang didirikan di atas lahan seluas 4.600 meter persegi tersebut melengkapi Taman Makam Pahlawan (TMP) Sampurna RagaBerbeda dari TMP lainnya, jenazah-jenazah yang dimakamkan di TMP Sampurna Raga bukan prajurit TNIMereka adalah warga sipil yang menjadi korban kebrutalan tentara Belanda pada masa Agresi Militer II.
Tidak tanggung-tanggung, kebengisan tentara Belanda kala itu memakan korban 431 orangSemuanya laki-lakiBaik yang sudah tua maupun yang masih remajaNamun, tidak seluruh korban kejahatan perang tersebut dimakamkan di TMPBerdasar catatan pengelola Monumen Rawagede, TMP Sampurna Raga hanya menampung 181 jenazah.
Akibat pembantaian tersebut, di Rawagede saat itu muncul lebih dari 150 jandaSeiring bertambahnya umur republik ini, sebagian janda Rawagede sudah meninggalMereka menyusul sang suami dan keluarga lainnya yang sudah menunggu di alam barzakh.
Berdasar catatan Yayasan Rawagede, saat ini tinggal enam janda tragedi kemanusiaan tersebutMereka adalah Wanti, 90; Cawi, 86; Lasmi, 83; Tijeng, 84; dan Kaswi, 84Seorang lagi adalah Wanti, 89, yang ikut anaknya tinggal di Kampung Rawagede.
Di antara para janda tersebut, Cawi menyempatkan diri untuk membersihkan makam sang suami, Bitol, sehari setelah pengadilan Den Haag memenangkan gugatan warga Rawagede (16/9)Dengan telaten, dia menyapu dan mengambil satu demi satu daun-daun yang bertebaran di atas makam.
Setelah pekerjaan selesai, bungsu di antara dua bersaudara itu menceritakan kejadian kelabu 64 tahun lalu tersebutKetika itu, umur Cawi baru 20 tahun, sedangkan Bitol menginjak 25 tahunMereka sudah dua tahun menikah, tapi belum dikaruniai anak.
Saat itu, seusai subuh, seperti biasa Bitol memanggul cangkul untuk mengerjakan sawah majikannyaPasangan Bitol dan Cawi sehari-hari memang bekerja sebagai buruh taniPagi itu, Bitol sendirian pergi ke sawah karena belum musim tanam padi"Jika waktunya musim tanam padi, saya kebagian tugas menanam padi," terang Cawi sambil sesekali matanya melihat ke makam suaminya.
Bitol sempat pamit sebelum berangkat ke sawahNamun, ketika itu Cawi ngantuk beratDia hanya membalas kira-kira; iya Pak, hati-hati kalau kerjaBeberapa saat kemudian, Bitol pulang dengan napas terengah-engah"Bu, sawah sudah dikepung tentara Belanda," jelas Cawi mencoba menirukan kembali penuturan Bitol saat ituBitol lantas menyatakan bahwa seluruh kaum perempuan dilarang keluar rumahTakut jika terkena peluru nyasar.
Pagi yang tenang seketika menjadi mencekamBeberapa warga langsung gemetar saat mengetahui kampung mereka dikepung sekitar 300 serdadu Belanda bersenjata lengkapBeberapa warga mengetahui bahwa rencana Belanda saat itu adalah mencari Kapten Lukas Kustario
Lukas atau yang saat itu dikenal dengan sebutan Macan Lukas benar-benar membuat geram dan gemas pihak BelandaDia dikenal cukup nakal ketika bertempur melawan BelandaKenakalannya, antara lain, selalu menyempatkan diri menggunakan seragam serdadu Belanda yang dia bunuh setiap menyerbu markas BelandaGunanya adalah untuk menyamarKenakalan Lukas lainnya, dia pernah membuat kereta Belanda yang melewati Karawang ambruk dengan serangannyaLantas, dia pernah mengambil ratusan pucuk senjata komplet dengan pelurunya.
Melalui mata-mata warga pribumi, Belanda mendapat kabar bahwa pada Senin, 8 Desember 1947, Lukas berada di RawagedeMemang, saat itu sekitar pukul 07.00 Lukas masuk ke RawagedeKeberadaan dia di Rawagede tersebut tercium sekitar pukul 09.00
Lantas, kabar keberadaan Lukas itu disampaikan ke pos besar tentara Belanda di JakartaAkhirnya, setelah asar, turun perintah dari Jakarta untuk membumihanguskan RawagedeCelakanya, sebelum azan asar, Lukas sudah meninggalkan RawagedeDia menuju daerah Sukatani, Cikarang, Bekasi, untuk menyerang lapangan terbang di Cililitan bersama sekitar seratus tentara Indonesia.
Serdadu Belanda tidak tahu bahwa Lukas sudah keluar dari RawagedeSejatinya, jalur-jalur yang menuju Rawagede sudah ditutupTapi, tentara Belanda masuk lewat utara Rawagede yang dilewati rel kereta api dengan jalan kakiSenin malam, serdadu Belanda itu langsung mengepung Rawagede dengan formasi letter UOperasi Belanda tersebut dipimpin Mayor Leinenn.
Ratusan warga Rawagede semakin gaduh ketika barisan serdadu Belanda mulai mendekat ke rumah-rumah merekaKaum laki-laki langsung keluar rumahBeberapa di antara mereka bersembunyi di Sungai Rawagede yang kebetulan sedikit banjirMereka menggunakan dedaunan sebagai penutup kepalaNahas bagi Bitol, dia ditemukan tewas tidak jauh dari rumahnyaDia tewas dengan bekas tembakan di kepala.
Cawi baru tahu suaminya meninggal menjelang duhur"Saat itu, perempuan tidak berani keluar rumah," katanyaApalagi, saat itu bunyi tembakan terdengar tiada hentiBunyi senapan mesin saat itu, jelas Cawi, dredet, dredet, dredet"
Selain itu, di telinga warga Rawagede, ada senjata Belanda yang menimbulkan bunyi tek dung, tek dungDiduga, senjata yang mengeluarkan bunyi seperti itu adalah sejenis meriamAkhirnya, warga setempat punya guyonan untuk menyebut para janda korban pembantaian RawagedeMereka menyebut para janda itu dengan istilah janda tek dung"Hahaha" kami memang dikenal janda tek dung," tutur Cawi.
Dia awalnya tidak percaya suaminya tewas saat ituDia benar-benar yakin Bitol sudah tewas setelah melihat mayatnya yang dipenuhi lumpurDibantu janda-janda lainnya, Cawi lantas mengangkat mayat BitolSehari kemudian, Bitol dimakamkan di pemakaman umum yang saat ini sudah dipugar menjadi TMP Sampurna Raga.
Tapi, ada sejumlah janda yang tidak memakamkan jenazah suaminya di pemakaman umumAlasannya, lokasinya sedikit jauh dari penemuan mayat serta tidak ada tenaga laki-laki saat ituJenazah-jenazah tersebut lantas dimakamkan di samping rumahJenazah itu juga tidak dikubur sedalam proses penguburan saat iniRata-rata hanya dikubur sedalam setengah meter
Untungnya, jelas Cawi, meski banyak jenazah yang dikubur dengan kedalaman tidak sampai satu meter, tidak pernah tercium bau mayat"Kami semua hidup normal, tanpa ada bau mayat sama sekali," ungkapnya.
Memasuki 1950, mayat-mayat yang dikubur di pekarangan rumah tersebut diangkat, lalu dikumpulkan dan dimakamkan di TMP Sampurna Raga.
Kini, Cawi menyatakan senang mendengar kabar gugatan para janda tragedi Rawagede dimenangkan pengadilan Den HaagJika uang kompensasi dari gugatan tersebut turun, dia berjanji membangun rumah sederhana"Supaya tidak ngrepoti anak-cucu lagiMeski sudah tua, saya siap tinggal sendiri," katanya berharap.
Cerita kebrutalan serdadu Belanda saat itu juga dituturkan Ketua Yayasan Rawagede SukarmanDia mengungkapkan, ayahnya yang bernama Sukardi selamat dari pembantaian setelah bersembunyi di Sungai Rawagede"Orang di kanan-kiri bapak saya kena tembakTapi, untungnya, bapak selamat," ujarnya di kompleks Monumen Rawagede.
Dia menyatakan, aksi Belanda saat itu benar-benar merupakan kejahatan perangSebab, banyak korban yang ditembak dari belakangSelain itu, seluruh korban yang tewas bukan tentaraMereka adalah warga sipil yang menurut tentara Belanda ikut membantu menyembunyikan Macan Lukas"Tapi, tuduhan itu kan tidak terbuktiSaat terjadi pembantaian, Kapten Lukas tidak ada di Rawagede," tutur kepala Desa Balongsari periode 1977?1995 tersebut.
Berawal dari situlah, Sukarman beserta janda-janda dan ahli waris korban tragedi Rawagede menggugat pemerintah BelandaMereka difasilitasi Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)Organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan korban pembantaian Rawagede tersebut juga mendirikan perwakilan di BelandaSelama sidang, KUKB membantu penuh para janda serta ahli waris tragedi Rawagede.
Sukarman menuturkan, gugatan itu terdiri atas tiga poinYaitu, menuntut Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 secara de facto, menuntut Belanda meminta maaf kepada Indonesia karena telah melanggar HAM dalam kasus Rawagede, serta meminta Belanda memberikan kompensasi untuk para janda dan ahli waris korban tragedi pembantaian Rawagede"Nominal kompensasi belum kami cantumkan dalam gugatan itu," katanya.
Sukarman tidak membenarkan kabar bahwa nominal kompensasi tersebut hanya Rp 4 jutaanSelain itu, dia mengelak bahwa nominal gugatan tersebut mencapai miliaran rupiah untuk seorang janda dan ahli waris
Dia berharap nominal ganti rugi itu bisa cepat cair, mumpung para janda yang tersisa saat ini masih hidupSukarman juga meminta campur tangan pemerintah RIDia berharap tragedi Rawagede yang menjadi inspirasi puisi Chairil Anwar tersebut juga bisa menjadi inspirasi bagi kasus-kasus serupa(c5/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terus Melawan, Antasari Azhar Luncurkan Buku dari Balik Penjara
Redaktur : Tim Redaksi