WNI Terpidana Mati: Arwah Saya akan Gentayangan Menuntut Balas

Selasa, 10 Maret 2015 – 06:11 WIB
Pengacara Zainal Abidin, Ade Yuliawan saat memberikan keterangan pers seputar Surat Testimoni dari Zainal. Foto: Aris Andrianto, diambil dari The Canberra Times.

jpnn.com - CILACAP - Zainal Abidin, satu-satunya Warga Negara Indonesia (WNI) yang bakal bergabung dalam drama eksekusi mati bersama dengan terpidana mati tahap kedua. Ia masih bersikeras dan mengaku tak pantas menerima hukuman ini.

Zainal merasa dikhianati, dan ironisnya, hal itu akan berujung kematian di tangan regu penembak bangsanya sendiri.

BACA JUGA: Dor! Peluru Memantul dan Tepat di Kepala Novan

Selama ini, perhatian banyak terpusat ke duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dan sejumlah kisah dari terpidana mati luar negeri. Sementara, Zainal sendiri hingga 5 Maret kemarin masih memohon penangguhan eksekusi mati atas dirinya.

Diceritakan kembali dari The Canberra Times, Senin (9/3), Zainal adalah seorang buruh pabrik berusia separuh baya di Palembang Sumatera Selatan, yang upahnya sehari berkisar antara 10 sampai 15 ribu rupiah.

BACA JUGA: Ini Saran KH Hasyim Muzadi ke Jokowi soal Hukuman Mati

Berdasarkan kisah Zainal, suatu hari di tahun 2001, di saat dia sedang tidur, seorang kenalannya bernama Aldo datang ke rumahnya dengan membawa tiga karung beras yang padat terisi.

Aldo saat itu datang larut malam dengan bus. Dia ingin tinggal satu malam sebelum melanjutkan ke Pulau Jawa keesokan harinya. Zainal menegaskan dia tidak tahu apa yang ada di dalam karung, yang ternyata berisi 58,7 kilogram ganja.

BACA JUGA: Eksekusi Terpidana Mati Menjadi Hari Memilukan

Di saat Zainal kembali tidur, Aldo keluar untuk memperdagangkan sekitar satu kilo barang bawaannya. Dia tertangkap dan kepada polisi Aldo menuding Zainal.

Singkat cerita, Zainal ditahan dan mengklaim dipukuli oleh aparat. "Dia pikir dia akan mendapatkan cacat tetap, jadi terpaksa dia mengaku dialah organiser dari barang tersebut," ujar pengacara Zainal Abidin, Ade Yuliawan.

Penjelasan itu ditolak oleh pengadilan, meskipun tersaji tubuh memar Zainal sebagai bukti.

"Saya tidak bisa menerima perlakuan ini. Hukum tidak adil buat saya. Untuk orang-orang kecil seperti saya," tulis Zainal dalam surat yang dia buat pada 5 Maret itu.

"Apabila Bapak Jaksa Agung dan seluruh perangkat hukum yang terlibat dalam pelaksanaan eksekusi terhadap diri saya tetap memaksakan kehendak, maka arwah saya tidak tenang, gentayangan, akan menuntut balas termasuk kepada istri, anak, dan keturunannya. Ini dari lubuk hati saya yang paling dalam," tulis Zainal.

Zainal mungkin pantas geram. Dengan kondisi ekonomi tidak mendukung, dia tidak bisa melacak apa yang terjadi. Mendekam putus asa di penjara. 

Pada persidangan di Pengadilan Negeri Palembang, 13 Agustus 2001, Zainal dituntut hukuman penjara selama 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dan dijatuhi vonis lebih berat oleh majelis hakim yakni selama 18 tahun penjara.

Tak menyerah, Zainal berupaya banding ke Pengadilan Tinggi Palembang namun putusan pengadilan justru menjatuhi vonis hukuman mati pada 4 September 2001. Kemudian ia mengajukan kasasi atas putusan PT itu pada 3 Desember 2001 namun putusan tersebut justru diperkuat Mahkamah Agung.

Tak terhenti pada upaya kasasi saja, Zainal juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2005 dan hingga kini tidak pernah mendapatkan jawaban.

Puncak upaya hukumnya yakni pada 2015 dengan meminta grasi tapi ditolak Presiden Joko Widodo.

"Betapa terkejutnya saya mendengar pada 9 Januari 2015 yang grasi saya ditolak oleh Presiden Jokowi," tulisnya.

Pekan lalu, saudara Zainal dikabarkan mengalami serangan jantung dan meninggal setelah mendengar dari jaksa di Palembang bahwa mereka akan memiliki satu kesempatan terakhir untuk melihat Zainal sebelum dieksekusi.

Keluarga tidak punya uang untuk melakukan perjalanan ke Nusakambangan di Jawa Tengah untuk melihat dia.

Beberapa hari kemudian, Jaksa Agung Indonesia mengumumkan akan ada penundaan dalam eksekusi. Namun belum ada kabar keluarga Zainal akan datang berkunjung.

Kabarnya, saat ini judicial review-nya akan dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung. "Indonesia adalah negara berdasarkan aturan hukum, bukan salah satu berdasarkan instruksi presiden. Klien saya lebih baik menerima pengadilan yang adil dan proses hukum saat ini," ujar sang pengacara, Ade Yuliawan. (adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perpres Kewenangan Luhut Digugat ke MA


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler