Yakin Masih Ada Tsunami saat Malam, Pilih Tidur di Hutan

Selasa, 02 November 2010 – 07:07 WIB
Foto : Raka Deny/Jawa Pos

Gempa 7,2 skala Richter (SR) yang memicu tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin lalu (25/10), merupakan bencana dengan penanganan tersulit di IndonesiaDistribusi logistik ke titik-titik terparah terkendala akses transportasi dan cuaca

BACA JUGA: Unas Rampung, Luncurkan Buku Ke-13

Seperti apa kondisi mereka?

==========================
 ZULHAM MUBARAK, Mentawai
==========================
 
SENIN malam pekan lalu (25/10), langit di sebagian wilayah Mentawai terlihat cerah
Tanpa memiliki firasat, warga kepulauan yang mayoritas bekerja sebagai nelayan dan petani itu beraktivitas seperti biasa

BACA JUGA: Salsa Mulai Nulis Naksir-naksiran



Kebanyakan penduduk di kepulauan yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia tersebut tinggal di daerah pesisir dan memilih laut sebagai halaman depan rumah mereka
Tepat pukul 21.42 malam itu, bumi berguncang

BACA JUGA: Mengunjungi Makkah dengan Wajah Baru (2-habis)

Semenit setelah itu, semua tayangan televisi menghentikan siaran dan peringatan dini gempa 7,2 SR yang berpotensi tsunami ditampilkan
 
Bagi warga Eru Paraboat, Pulau Pagai Selatan, peringatan tersebut merupakan hal yang seriusWarga langsung berlarian ke luar rumah dan bersiap melakukan evakuasiBeberapa di antaranya bahkan berlari ke laut untuk memastikan ancaman tsunamiNamun, setelah beberapa menit berlalu, tidak terjadi apa-apaKetika itulah gempa susulan 4,6 SR terjadi.
 
Tak berselang lama, tiba-tiba angin besar menerpa diiringi suara gemuruhSaat sebagian besar penduduk belum sempat berlari menuju dataran yang lebih tinggi, tiba-tiba gelombang setinggi rata-rata 15 meter menghantam permukimanPuluhan karang berukuran raksasa terlempar diterjang gelombang ke arah rumah-rumah wargaTeriakan dan tangis pun membahana beradu dengan gemuruh gelombang serta bunyi tembok-tembok yang jebol diterjang air laut.
 
"Setidaknya, itulah yang saya ingatSetelah itu, saya berlari saja ke arah hutan tanpa peduli apa pun," ujar Risen, 45, ketika ditemui di bekas reruntuhan rumahnya di Dusun Eru Paraboat, Desa Malakopak, Kecamatan Pagai Selatan, Mentawai.
 
Pria itu kehilangan seluruh anggota keluargaNamun, dia enggan menyebutkan satu per satu nama merekaRisen tampak masih emosional dan membatasi bicaraDia lebih sering menerawang kosong dan memandangi para relawan SAR serta militer yang membersihkan reruntuhan dan mendistribusikan bahan makanan"Surak sabeo (terima kasih, Red) sudah datangSebaiknya saya tidak bicara banyak," ujarnya dalam bahasa Mentawai.
 
Eru Paraboat merupakan salah satu titik terparah yang dihantam tsunami di MentawaiKampung yang dulu ditinggali 80 KK (kepala keluarga) tersebut kini hanya menyisakan sekitar 100 orangKuburan masal berisi 60 mayat telah digali di salah satu tanah lapang di dusun ituSemua bangunan di sana luluh lantakNamun, mereka memilih bertahan di lokasi tersebut.
 
Dusun itu adalah salah satu di antara enam dusun dan satu desa yang belum tersentuh bantuan secara memadaiPara warga di sana hanya diberi bantuan secukupnyaItu pun tersendat-sendatItu terjadi karena laut sangat tidak bersahabat dan badai masih mengelilingi Pulau PagaiDusun-dusun di pulau tersebut, antara lain, Dusun Bulasat, Limu, Mapinang, Pororogat, Munte, Mapopu, Maunai, dan Pororogat.
 
Titik-titik itu tidak mudah dijangkauTiga kali upaya Jawa Pos untuk menembus gelombang laut sia-sia karena boat menolak melanjutkan perjalananBadai dan gelombang setinggi rata-rata 6 meter menyertai perjalanan menuju Eru ParaboatSedikitnya 25 kali kapal wartawan diterpa ombak dan nyaris terbalikAlasan itulah yang membuat distribusi bantuan tersendat.
 
Laut di Kepulauan Mentawai memang ditetapkan memiliki ombak terbaik ketiga setelah Hawaii dan TahitiKepulauan Mentawai berada pada jarak 150 km di lepas pantai Pulau SumateraKabupaten seluas 601 kilometer persegi tersebut didiami 64.235 jiwa yang sebagian besar adalah warga asli.
 
Kepulauan Mentawai terdiri atas 213 pulau dengan empat pulau utama, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai SelatanBeribu kota di Tua Pejat, Kabupaten Mentawai terbagi menjadi empat kecamatan dan 40 desa.
 
Posisi geografis Kepulauan Mentawai di lepas pantai Sumatera Barat memberikan ancaman tersendiri bagi warga karena langsung menghadap Samudera HindiaKarena itu, kecepatan gelombang tsunami yang menghantam pesisir diperkirakan mencapai 800 km per jam dengan tempo 6 menit dari pusat tsunami sebelum menghantam perumahan penduduk"Kami cukup beruntung karena letak dataran tinggi tidak jauh, sekitar 1 km di atas perkampungan kami," kata Risen.
 
Walaupun cukup banyak penduduk yang selamat, Jawa Pos melihat dampak kerusakan sangat parahHampir seluruh rumah penduduk rata dengan tanahHanya satu bangunan gereja yang masih berdiri tegakBeberapa bekas rumah yang tersisa juga menumpuk dan tertindih karang yang sebelumnya berasal dari tengah lautLapisan karang-karang terjal dan tajam tersebar di permukaan pantai.
 
Sisa bau mayat masih menyengat di sudut-sudut reruntuhanKetika mulai melangkah dari bibir pantai, hanya terlihat jalan setapak dan pohon-pohon kelapa yang terlihat utuhBantal, guling, sarung, panci, sampai alat pemutar VCD terlihat berserakan di jalanan, tak lagi bertuanSejumlah STTB (surat tanda tamat belajar) dan ijazah juga tampak berceceran.
 
Warga Eru Paraboat kali pertama menerima bantuan pada Rabu (28/10) atau tepatnya dua hari setelah tsunami menghancurkan kediaman merekaBantuan tersebut diberikan para surfer yang sebagian besar menetap di MentawaiBantuan pun berupa makanan yang hanya bisa membuat mereka bertahan selama sehariSetelah itu, mereka harus menunggu bantuan lagi.
 
Setelah mendapat bantuan, mereka pun memilih mengungsi ke hutan dan berjalan menembus jalan setapak ke dusun tetangga, yakni Dusun AsahanUntuk mencapai dusun tetangga itu, diperlukan waktu sedikitnya tiga jam menembus hutan"Kami mengungsi ke sana karena jauh dari pantaiBanyak yang masih trauma," ungkap Zaskina, salah seorang warga.
 
Dia menceritakan, pascatsunami, warga sempat kelaparanMereka pun terpaksa bergantian mengambil air kelapa dan mengumpulkan sisa-sisa makanan yang terserakKarena air tawar juga sulit didapatkan, bantuan berupa mi instan yang sempat dikirimkan lewat udara oleh militer pun sia-sia.
 
Tenda darurat didirikan tim perintis berdekatan dengan pantaiAkibatnya, warga menolak tinggal di sanaWarga memilih bermalam di gubuk-gubuk dan tempat pengungsian semipermanen yang didirikan di dataran tinggi di hutanKetika matahari tenggelam, mereka tampak panik dan berlarian kembali ke dalam hutanRendahnya pendidikan membuat para korban yang trauma mengira bahwa tsunami hanya terjadi saat malam"Karena itulah, kami takut tidur di tendaSebab, saat malam, gelombang bisa datang," ujar salah seorang warga dengan raut muka serius.
 
Kini, mereka berangsur-angsur mendapatkan bantuan dari para relawan yang memberanikan diri menembus lautPerjalanan ke lokasi bisa ditempuh lebih dari empat jam disertai ancaman badai serta ombak tinggiKendala lain adalah perubahan cuaca yang terjadi sangat cepat
 
Minimnya sarana alat angkut laut guna mendistribusikan bantuan dan relawan dari Kecamatan Sikakap ke lokasi-lokasi bencana juga menjadi kendala utamaSebab, semua lokasi bencana harus ditempuh melalui jalur laut
 
Di sisi lain, warga menolak untuk direlokasi ke tempat yang lebih amanTidak ada alasan jelas mengapa mereka tidak mau direlokasiNamun, menurut Zaskina, mereka berencana membangun kembali kehidupan lamanya di atas reruntuhan rumah merekaWalaupun, untuk bisa melakukan itu, butuh waktu yang cukup lama.
 
"Sekarang masih takutTapi, nanti pasti tidak lagiSebab, di sini saudara-saudara kami dikubur dan di sini pula kami akan dikubur," ungkapnya sambil terisak(c5/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Makkah dengan Wajah Baru (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler