jpnn.com - AKSI spionase itu melambungkan nama Pierre Poivre sebagai penyelundup nomor wahid di dunia. Aksinya berlatar negeri yang hari ini bernama Indonesia.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Romantisnya Pengarang Lagu "Kasih Ibu Kepada Beta" ini...
Pierre Poivre modus! Dia bergabung dengan ordo gereja hanya untuk memuaskan hasrat petualangannya; keliling dunia gratis.
Atas tudingan tersebut Poivre terpaksa angkat koper setelah empat tahun berkelana di Timur--dua tahun di Cina, dua tahun di Vietnam.
BACA JUGA: Depok Sudah Merdeka Sejak 3 Abad Lalu, Ini Kisahnya...
5 Februari 1745, dalam perjalanan pulang ke Prancis, kapal Dauphin yang ditumpanginya dicegat kapal Deptford berbendera Inggris di Selat Bangka, ujung Timur pantai Sumatera.
Dua kapal itu saling serang. Lengan kanan Poivre cedera kena tembak. Setelah pertempuran singkat, Dauphin pun diambil alih Inggris.
BACA JUGA: Ternyata, Kerajaan Sriwijaya Baru Saja...
Sehari kemudian, lelaki kelahiran Lyon, 23 Agustus 1719 yang berstatus tawanan itu mendapati dirinya di meja operasi dadakan.
Potongan tangan kanannya yang membusuk sudah dibuang ke laut.
Dengan hanya satu lengan, karir misionaris alumni lembaga pendidikan Missions Etrangeres di Paris tersebut bermasalah. Dia tak dapat mentasbihkan roti suci.
Sesampai di Batavia, sebagaimana ditulis Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis, kapal rampasan itu dilego ke pihak Belanda. Para tawanan dilepas begitu saja.
Spionase di Batavia
Empat bulan lamanya Poivre luntang-lantung di Batavia.
Entah susuk apa yang dipakainya, dia diberi tumpangan, sembari memulihkan luka. Bahkan ada wanita yang kerap memberinya uang.
Berbekal uang itu, pria 26 tahun tersebut mulai melancong, meluaskan pergaulan. Hiruk-pikuk Batavia sebagai bandar rempah-rempah terbesar di dunia segdra menginspirasi.
"Dalam banyak perbincangan, orang-orang pun tak khawatir berbagi informasi dengan si cacat," tulis Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah.
Poivre pun memainkan lakon spionase. Mendulang informasi sebanyak-banyaknya. Hingga dia paham betul betapa kuat dan ketatnya kendali dagang Belanda atas rempah-rempah.
Pemerintah Hindia Belanda mengharamkan sepetak kebun rempah di luar kendalinya. Bila kedapatan yang diam-diam menanam, ganjarannya hukuman mati dan kebunnya dibakar.
Seiring itu, seketat-ketatnya Belanda, dia juag beroleh info keberadaan kebun-kebun rempah ilegal yang tak terjangkau patroli Belanda.
Pendeknya, selama di Batavia, Poivre mengantongi segudang informasi penting perihal seluk-beluk rempah-rempah dari beragam kalangan.
Poivre mendapat ide; memutus monopoli VOC dengan cara mencuri bibit rempah dari kebun ilegal dan menanamnya di wilayah koloni Prancis.
Sepuluh tahun kemudian...
Februari 1755. Kapal La Colombe tiba di Meyo, pulau terpencil di Kepulauan Maluku. Di atasnya ada pria Prancis bertangan buntung; Pierre Poivre.
"Tidak ada yang dapat menghibur saya setelah sampai begitu dekat dengan pulau itu, yang begitu subur akan cengkihnya," tulis Poivre otobiografinya Voyages d'un philosophe (perjalanan sang filsuf).
Rencana yang sudah sejak lama disusunnya memang matang. Namun apa daya, angin tiba-tiba datang dari arah berlawanan.
"Mengapa saya tidak memiliki kapal yang lebih baik untuk dipakai dalam ekspedisi penting ini?" lanjutnya.
Saat kapalnya terseok-seok dibawa angin ke arah Selatan, "ia harus mengerek bendera Belanda agar tak ditangkap oleh kapal Belanda yang lewat," tulis Jack Turner.
Sesampai di Timor, Poivre bisa sedikit bernafas lega. Ia mendapatkan benih pala dari Portugis yang menguasai pulau itu.
Benih itu dibawanya menyeberangi Samudera Hindia ke Mauritius--koloni Prancis. Karena gagal tumbuh, orang-orang mulai menuding dia kena tipu Portugis dengan membeli benih palsu.
Pupus sudah mimpi Poivre. Setahun kemudian dia mudik ke Eropa. Di kampung halaman, dia menulis buku Voyages d'un philosophe yang menceritakan pengalaman hidupnya.
Judul itu, yang berarti Perjalanan Sang Filsuf menarik perhatian banyak orang. Termasuk seorang menteri dalam kabinet Louis XV. Pendek kisah, ide Poivre didukung negara.
Pada 1767, dia kembali ke Timur. Kini, ia mempekerjakan orang lain untuk resiko yang dulu ditempuhnya.
Evrard de Tremignon dan le sieur d'Etcheverry yang dapat diandalkan di Samudera Hindia direkrut untuk menangani kapal Vigilant dan kapal Etoile du Matin.
Januari 1770 mereka berlayar ke Maluku. Pendek kisah, 25 Juni tahun itu mereka kembali dengan penuh kemenangan.
Lebih kurang 20 ribu bibit pala dan 300 benih cengkih dari Maluku ditanam di Mauritius, persisnya di Jardin du Roi.
Panen pertama cengkih pada 1776, disusul panen pala dua tahun berikutnya dikirimkan secara simbolis kepada Raja Prancis.
Bibit tersebut juga disebar ke Mahe, Seychelles--koloni baru Prancis di Samudera Hindia.
Jauh hari kemudian, pada 1818, nama Poivre masih diagung-agungkan karena keturunan cengkih selundupannya tumbuh spektakuler di Madagaskar, Pemba dan Zanzibar.
Impian sang penyelundup berhasil. Bahkan, aksinya tak sekadar memutus monopoli Belanda atas rempah-rempah. Seiring meluasnya perkebunan rempah, pasarannya ambruk.
Zaman manakala sekantong rempah dibarter dengan sekantung emas di Eropa pun, tinggal kenangan.
Dalam hikayat rempah-rempah, Pierre Poivre si tangan buntung digadang-gadang sebagai simbol ambruknya zaman kejayaan rempah-rempah dunia. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Bung Karno Bicara Sejarah Dunia
Redaktur : Tim Redaksi