Yuuk...Nyebur ke Kolam Air Soda Alam, tapi Jangan Ngomong Jorok ya

Kamis, 12 November 2015 – 07:55 WIB
AIR SODA- Kolam pemandian air soda di Desa Parbubu I, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Foto: Marihot Simamora/METRO SIANTAR/JPNN

BEGITU mencebur, Desi Nababan merasa seperti es batu yang dicemplungkan ke segelas minuman bersoda. Tubuhnya terasa enteng melayang. Juga, dikelilingi gelembung busa.
--------------------
ALFREDO SIHOMBING, Tarutung
BRIANIKA IRAWATI, Surabaya   

-------------------

"Asyik dan unik sekali," kata perempuan 23 tahun itu kepada Metro Siantar (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Tentang Cintanya kepada Rossa, Rasa Sayangnya kepada Ayu Ting Ting

Sabtu (8/11) menjelang sore lalu itu, bukan hanya Desi yang betah berlama-lama di Kolam Air Soda di Desa Parbubu tersebut. Belasan pengunjung, besar kecil, laki-laki maupun perempuan, riang memainkan buih. Sesekali ada juga yang penasaran mencicipi air kolam.

 "Sedikit asin juga ya ternyata," kata Desi yang berasal dari Jambi itu.

BACA JUGA: Kisah Ivan Gunawan, soal Fashion, Disko, Sabu-sabu

Kolam yang bisa dijangkau dalam 15 menit dari pusat Kota Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, tersebut memang tergolong fenomena alam langka. Di seluruh dunia, konon, hanya ada satu kolam sejenis lainnya, yakni di Venezuela.

Warga setempat menyebut kolam di lereng perbukitan berhawa sejuk itu "Aek Rara". Artinya, air yang warnanya kemerah-merahan. Buih keluar karena airnya yang hangat mengandung soda yang bersumber dari alam.

BACA JUGA: Ruang Kerja Pak Harto Kini jadi Kantor Teten Masduki

Tetapi, air soda alam tersebut sama sekali tidak lengket di badan. Hanya, kalau terkena mata, air menimbulkan perih. Air soda itu juga hanya bisa ditemukan di kolam tersebut. Di persawahan nan menghijau yang mengelilinginya hanya ada air tawar.

Ambos Lumbantobing, pemilik kolam, menerangkan bahwa kolam air soda itu awalnya ditemukan ibunya, Minar Sihite, pada 1976. Hingga sekarang, mata air soda tersebut tidak pernah berhenti mengucur.

Penemuan mata air soda itu ditandai melalui mimpi. Minar, menurut Ambos, didatangi sahala oppung (roh leluhur). Roh leluhur tersebut menunjukkan adanya sebuah mata air unik di tanah milik keluarga.

Dalam mimpi itu juga disebutkan bahwa lokasi tersebut akan jadi sebuah objek usaha bagi keluarganya. Karena itu, harus dirawat serta dikembangkan.

 "Keluarga kami pun mengusahainya hingga berkembang seperti sekarang ini. Pengunjung dari berbagai daerah dan negara asing terus berdatangan," katanya.

Pakar geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Amin Widodo membenarkan bahwa munculnya air soda ke permukaan tanah termasuk kejadian alam yang langka. "Penyebab kejadian munculnya belum bisa dipastikan secara jelas," kata Amin.

Menurut dia, kedekatan lokasi dengan gunung berapi sangat berpeluang memunculkan air soda."Sering kali kondisi dekat gunung berapi adalah air hangat, hampir sama dengan kondisi air soda. Hanya, karakternya berbeda dengan air pada umumnya," terang Amin.

Mengenai manfaat, rata-rata pengunjung mengaku badan menjadi lebih enteng dan kulit terasa lebih halus setelah mandi di Aek Rara. "Pegal-pegal jadi hilang," ujar Oppotua Lumbantobing, seorang warga sekitar yang kerap mandi di Aek Rara.

Namun, Amin mengatakan, untuk memastikannya, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

 "Air soda memiliki kandungan air dan gas, bukan material. Jadi, masih sulit dibayangkan manfaat apa yang bisa digunakan selanjutnya," kata Amin.

Meski demikian, kandungan air soda dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik. "Air soda ini termasuk panas bumi yang mungkin bisa jadi sumber listrik," ujarnya.

Sayang, seperti diakui Ambos, sampai sejauh ini belum ada penelitian mendalam tentang fenomena alam di kolam keluarganya itu. Bahkan, Pemkab Tapanuli Utara baru pada 2004 menjadikannya destinasi wisata resmi.

Sampai kini fasilitas di sana masih tergolong minim. Pondok peristirahatannya kurang banyak, lokasi parkir terbatas, dan kamar mandi serta kamar gantinya kurang layak.

Dengan segala keterbatasan itu, Pemandian Aek Rara tiap minggu rata-rata masih bisa mendatangkan 2.000 pengunjung. Seperti juga tempat wisata lain, paling ramai biasanya tiap akhir pekan. Tarif masuknya pun murah, hanya Rp 7.000.

Ada sejumlah aturan yang harus dipatuhi siapa pun yang ingin mandi di kolam berbuih itu. Di antaranya, dilarang bicara kotor atau memaki dan berpikir negatif.  

 "Saya tak tahu apa akibatnya kalau aturan itu dilanggar. Tapi, di pemandian alam kayak gini, mending dipatuhi saja," kata Desi.

Dari Medan, ibu kota Sumatera Utara, Pemandian Aek Rara berjarak sekitar 320 kilometer. Dengan perjalanan darat, dibutuhkan lima-enam jam. Jauh memang, tapi bakal dapat bonus pemandangan elok di tepian Danau Toba sebelum sampai Tarutung.

Oppotua yakin, seandainya digarap lebih serius, reputasi Aek Rara bakal mendunia. Apalagi, dari Medan, lokasinya satu jalur dengan Danau Toba yang sudah terkenal itu.

Jadi, turis, termasuk dari mancanegara, yang ke Danau Toba bisa sekalian mampir ke Aek Rara. Selama ini kebanyakan pengunjung asing ke pemandian karena sedang ada pekerjaan di Tarutung.   

 "Ini unik dan langka. Mestinya pemerintah daerah dengan pemilik bisa saling bekerja sama yang saling menguntungkan dalam pengembangannya ke depan," tuturnya. (JPG/c10/ttg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernah Berjuang bersama Jenderal Sudirman, kini Hidup Menderita


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler