22 Tahun Reformasi, KPK Diserang 'Pandemi Dependen'
jpnn.com - Lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), asal muasalnya lahir dari momentum Reformasi. Tidak dipungut, bukan anak angkat, diadopsi atau ditirikan. Tetapi benar-benar anak kandung Reformasi.
Hadir dan tumbuh atas semangat “independensi” memberantasi korupsi Indonesia. Men-trigger lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya yang sedang tidak dipercayai publik.
Independensi merupakan identitas atau gen sejak lembaga ini dilahirkan. Olehnya tidak bisa dihilangkan. Sebab menghilangkan genetiknya sama dengan membunuh identitas, membuat mati karakter lembaga itu.
Kalaupun masih hidup, maka dia tidak lebih dari “mesin”. Membutuhkan remot kontrol agar tetap bisa bergerak. Tidak berlebihan, tetapi begitulah kira-kira KPK sekarang!
Mandat independensi itu ada dalam Undang-Undang KPK yang lama, yang dahulunya berulang kali digoyang dan diuji oleh mereka yang merasa terganggu dengan KPK. Bahkan pada 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya kembali menegaskan independensi tersebut.
MK menolak gugatan, dengan alasan karena objek penyelidikan KPK adalah lembaga eksekutif makanya KPK tidak boleh tunduk pada pemerintah dan harus independen.
Apa boleh buat, KPK hari ini tunduk di bawah eksekutif. Revisi undang-undang itu melukai hati rakyat, yang 22 tahun lamanya setelah Reformasi, menjaga dan memeluk erat tiang independen KPK agar tidak patah.
Dahulu lembaga antikorupsi dunia menaruh harapan kepada KPK. Sekarang itu sudah tidak lagi. Bahkan diragukan keefektifannya. Tahun 2019 KPK mendongkrak capaian Indonesia dengan poin yang cukup tinggi urutan keempat dari negara-negara di Asia. Bahkan di tahun yang sama Transparency International telah memberikan catatan kepada KPK karena tidak memiliki otonomi dan kekuatan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini sebagai akibat dari pelemahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Undang-Undang KPK yang baru.