Ada Tes untuk Ungkap Guru Asing LGBT di Sekolah Swasta?
jpnn.com, JAKARTA - Para guru asing di sekolah-sekolah swasta di Indonesia beberapa pekan terakhir ini menjalani semacam tes psikologi. Melalui tes itu, para guru asing diminta mengungkapkan orientasi seksual mereka, termasuk yang gay ataupun lesbian.
Hasil tes itulah yang akan dipakai pihak sekolah untuk menentukan sikap terhadap guru yang memiliki orientasi seksual abnormal. Kebijakan tersebut jadi sorotan internasional, sampai laman The New York Times menurunkan artikel soal itu dengan judul A Test for Foreign Teachers in Indonesia: Are You Gay? pada 23 Desember 2019.
The New York Times yang mengutip Kepala Subbagian Humas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Waadarrahman mengabarkan, sekolah swasta dilarang merekrut guru asing berlatar belakang gay ataupun lesbian. “Bagi para guru asing, jika psikolog menyatakan bahwa seorang kandidat memiliki penyimpangan orientasi seksual, tentu sekolah tidak akan mempekerjakan orang itu,” ujar Waadarrahman.
Tes itu mengemuka seiring maraknya penolakan terhadap kalangan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negeri paling toleran di dunia Islam. Menurut The New York Times, Indonesia merupakan negara sekuler meski mayoritas penduduknya muslim.
Dalam artikel salah satu koran ternama di di Amerika Serikat itu tertulis bahwa saat ini homoseksualitas bukan hal ilegal di Indonesia, kecuali di Aceh. Sebab, di Aceh ada perda syariat untuk menghukum kaum gay dan lesbian.
Menurut Waadarrahman, kebijakan tentang larangan merekrut guru asing dari kalangan LGBT itu diterapkan di 168 sekolah, termasuk Jakarta Intercultural School yang sebelumnya bernama Jakarta International School (JIS). Pada 2016, JIS menjadi bahan pemberitaan berbagai media akibat dua gurunya terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya.
Namun, Kepala JIS Tarek Razik menolak mengomentari kebijakan tentang tes psikologi terhadap para guru asing. Demikian pula dengan guru asing yang menjalani tes psikologi menolak berbicara secara terbuka karena khawatir bakal kehilangan pekerjaan.
Terpisah, seorang psikolog di Bandung bernama Ifa H. Misbach mengaku menolak sekolah yang memintanya melakukan tes psikologi kepada guru asing. Alasannya, hal itu akan melanggar kode etik profesi.