Alex Noerdin, Hasan Aminuddin, dan Saiful Ilah
Oleh: Dhimam Abror DjuraidHasan Aminuddin, dari Probolinggo, memakai pola dinasti itu. Setelah dua periode berkuasa sebagai bupati, Hasan mendesain istri sambungnya, Puput Tantriana Sari, sebagai bupati penerus. Bersamaan dengan itu, Hasan meneruskan kariernya menjadi anggota DPR RI.
Sekali tembak dua burung jatuh. Sekali dayung dua pulau terlewati. Itulah pepatah yang cocok untuk menggambarkan manuver politik orang-orang kuat seperti Hasan dan lain-lainnya.
Dengan menjadikan sang istri sebagai bupati penerus, sekaligus menjadikan dirinya sebagai anggota DPR, dia bisa menembak dua burung dengan satu peluru, dan melewati dua pulau dengan sekali dayung.
Hasan Aminuddin sukses mempertahankan dominasi mutlak di Probolinggo. Istrinya bisa meneruskan tradisi kekuasaan dengan baik. Sementara Hasan mengawal dari belakang menjadi bupati bayangan. Orang-orang kuat seperti ini sering disebut sebagai ‘’bupati malam’’, sementara sang istri disebut sebagai bupati siang.
Pengaruh politik Hasan masih tetap dominan, katebelecenya sangat sakti dan tidak ada yang berani membantah. Setoran dan upeti tetap mengalir lancar. Saking lancarnya, sampai upeti itu menjadi sebuah tradisi, tidak terasa sebagai korupsi.
Setor upeti dengan nilai tertentu untuk menjadi kepala desa atau camat adalah tradisi, bukan korupsi.
Setor upeti untuk mendapatkan jabatan di dinas tertentu adalah tradisi, tidak terasa sebagai korupsi. Hal yang sama juga dilakukan untuk mengakali tender proyek untuk memenangi perusahaan para kroni.
Setoran sekian persen dari nilai keuntungan proyek yang diserahkan kepada para kepala daerah dianggap sebagai tradisi, bukan korupsi.