Anak Muda Australia Merasa Lebih Dekat dengan Asia
Hanya cukup berjalan lima menit di salah satu jalanan Sydney untuk sadar betapa multikulturalnya Australia. Di tiap tikungan jalan, dengan gampang ditemui orang-orang yang berbicara dalam bahasa ”lu-gue” ala Jakarta atau Melayu medok Malaysia.
Keterbukaan itu juga buah dari bibit yang ditanam Australia di sistem pendidikan mereka. Elizabeth Grace Oktaviani, salah seorang guru Indonesia peserta BRIDGE School Partnership di Heany Park, Victoria, merasakan sendiri betapa para siswa Australia dilatih untuk berpikir kritis.
”Dari sana mereka pun jadi terlatih untuk berbeda pendapat. Yang pada akhirnya membentuk sikap mereka untuki menghormati perbedaan,” kata Grace.
Memang, di kalangan anak-anak primary school dan high school tak sedikit yang masih belum tahu banyak tentang negara-negara tetangga. Bali dan Indonesia, misalnya, dianggap dua negara berbeda.
”Tapi, keingintahuan mereka besar begitu tahu kami dari Indonesia. Mereka tak pernah ragu untuk bertanya,” katanya.
Febe membenarkan. Sebagai rumah dari 190 negara yang warganya ”terwakili” di Australia itu, adaptasi jadi mudah.
”Saya tidak pernah merasa asing di sini. Dan, sama sekali tak pernah mengalami pelecehan atau diskriminasi rasial,” katanya.
Nahhas juga mengenang betapa dirinya diperlakukan dengan hangat oleh orang-orang sekitarnya selama tinggal di Jogjakarta. Selalu saja ada tangan yang siap membantu saat dia butuh sesuatu. Serasa berada di keluarga sendiri.