Antisipasi Dampak Covid-19, HNW Minta DPR Prioritas Membahas RUU Bank Makanan
Sebagai informasi, RUU Bank Makanan untuk Kesejahteraan Sosial telah ditetapkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024 atas usulan Hidayat Nur Wahid melalui Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Namun, RUU ini belum ditetapkan ke dalam Prolegnas RUU Prioritas yang dibahas pada 2020.
“Saya mengusulkan perlu ada revisi terhadap Prolegnas Prioritas 2020 tersebut, dan memasukan RUU ini ke dalam prioritas 2020 karena dengan terjadinya bencana nasional Covid-19, yang tak terduga sebelumnya, RUU ini menjadi sangat urgen, untuk menciptakan gerakan bagi masyarakat bergotong royong, juga membantu korban Covid-19, melalui Bank Makanan,” tegas HNW.
Lebih lanjut, HNW mencontohkan beberapa negara, seperti Amerika Serikat, yang parlemennya aktif menciptakan instrumen hukum untuk merespon wabah Covid-19, dengan produk perundangan yang membantu warga korban Covid-19, di antaranya dengan Families First CoronaVirus Response Act.
Di negara tersebut, bank makanan sangat diandalkan oleh masyarakat AS untuk memenuhi kebutuhan mereka akibat pengangguran yang disebabkan oleh Covid-19. Ini terbukti dengan sejumlah pemberitaan, dimana masyarakat AS banyak yang membuat sampai antrian panjang di depan sejumlah bank makanan yang ada di sana.
“Indonesia perlu mengantisipasi hal semacam itu, dengan hadirkan Bank-Bank Makanan yang legal, melalui disahkannya RUU Bank Makanan untuk Kesejahteraan Sosial. Bila itu segera bisa dihadirkan, maka Bank Makanan bisa menjadi salah satu di antara solusi kreatif untuk menghadapi dampak sosial ekonomi berkepanjangan dari pandemi Covid-19 ini,” tukasnya.
Sebagai informasi, bank makanan adalah lembaga/tempat yang dikelola oleh suatu organisasi sosial yang kegiatannya menyediakan makanan kebutuhan dasar manusia, yang dapat diperoleh secara cuma-cuma oleh orang yang membutuhkan. Sumber makanan yang ada di bank makanan tersebut biasanya berasal dari (a) makanan berlebih seperti dari rumah tangga, restoran, katering atau acara pernikahan (food waste) yang masih layak untuk dikonsumsi.
(b) Makanan berlebih yang yang hilang atau terbuang antara rantai pasok produsen dan pasar yang diakibatkan oleh proses pra-panen tidak sesuai dengan mutu yang diinginkan pasar disebabkan permasalahan dalam penyimpanan, penangangan, dan pengemasan sehingga produsen memutuskan untuk membuang makanan karena ditolak oleh pasar (food loss), padahal makanan itu masih sangat layak untuk dikonsumsi.
Berdasarkan data FAO pada 2016, lanjut HNW, Indonesia berada di urutan terbesar kedua (setelah Arab Saudi) sebagai negara penyumbang makanan terbuang (food waste) dengan total 13 juta ton makanan yang terbuang setiap tahunnya. Jumlah yang sangat besar.