APTI Jabar Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan Cukai dan HJE Rokok
Hal ini bukan hanya merugikan masyarakat petani dan buruh industri rokok dan tembakau tapi juga merugikan pemerintah itu sendiri. Karena akan kehilangan pendapatan dari cukai karena banyaknya rokok illegal.
“Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini hingga mencapai 23 persen dan 35 persen. Harusnya naiknya bertahap. Misalnya 10 persen. Periode berikutnya 7 persen. Sehingga menjadi 17 persen. Jangan seperti saat ini. Naiknya drastis hingga mencekik produsen dan petani tembakau. Kenaikannya lebih dari 20 persen,” tambah Suryana.
Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran, yakni 35 persen. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai. Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok.
Jika kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen. Maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10 persen. Bukan seperti saat ini. Di atas 20 persen.
“Kenaikan HJE itu seharusnya seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap. Bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah. Hal ini amat meresahkan dan menyengsarakan petani tembakau. Pemerintah harus menyadari dan merasakan itu,” tegas Suryana.
Di tempat yang sama, Suryana juga menyampaikan, tuntutan kedua yang diajukan ratusan anggota nye kepada pemerintah khususnya kepada Presiden dan Kementrian keuangan adalah direvisinya PMK No. 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
“Kami meminta peraturan itu direvisi. Harusnya bukan minimal 50 persen untuk kesehatan melainkan maksimal 50 persen untuk kesehatan. Jika minimal 50 persen untuk kesehatan, bisa jadi keseluruhan dana DBHCHT untuk kesehatan. Padahal masih banyak sektor lain yang harus menerima pemanfaatan dana DBHCHT. Karena itu kami minta direvisi, bukan minimal 50 persen untuk kesehatan tapi maksimal 50 persen untuk kesehatan. Selebihnnya untuk bidang lain yang juga bermanfaat untuk pembangunan masyarakat dan daerah penerima dan bagi hasil cukai dan tembakau,” papar Suryana.
“Kami berharap, pemerintah khususnya kementerian keuangan mendengarkan aspirasi kami sebagai rakyat sekaligus stake holder dari industri rokok dan tembakau di tanah air. Karena itu kami berharap pemerintah baik Presiden maupun kementrian keuangan dapat mengabulkan permintaan atau tuntutan kami. Tuntutan kami, bukan hanya untuk masyarakat petani tembakau semata, tapi juga untuk buruh dan pemerintah sendiri," imbuhnya.(chi/jpnn)