Blakblakan, Kepala ICU RS Keluhkan Fasilitas BPJS
Misalnya, pasien A membutuhkan antibiotik Tigecycline untuk kesembuhan penyakitnya. Namun antibiotic itu tidak tercover oleh BPJS. Akhirnya obat itu menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit. Padahal untuk 50 mg Tigecycline dihargai Rp 850 ribu.
Sedangkan dalam sehari satu pasien membutuhkan dosis sebanyak 150 mg atau tiga kali dalam sehari, artinya rumah sakit harus mengeluarkan dana sebesar Rp 2,5 juta per hari per pasien. Itulah yang memberatkan pihak rumah sakit.
Wiwi menyampaikan, jika hal ini terus-terusan dilakukan, mau sampai kapan rumah sakit harus mengeluarkan dana untuk mengcover biaya pengobatan pasien. Sebenarnya Wiwi sudah menyampaikan ketidaknyamanan ini kepada Kepala BPJS Jawa Timur, namun tidak ada respon hingga saat ini.
“Sudah saya sampaikan ketika ada pertemuan dengan BPJS Jatim bulan Desember tahun 2015. Tapi tidak ada tanggapan,” keluhnya.
Dia mengungkapkan, seharusnya asuransi itu tidak profit oriented. “Artinya tidak dipatok, lha ini dipatok. Jadi cukup atau tidak cukup ya sebanyak itu, kalau ada yang kurang ya jadi tanggung jawab rumah sakit,” kata dia.
“Silahkan saja dibuat sistem seperti itu, tapi harus ada plan B. Bagaimana solusinya,” lanjut Wiwi.
Di kalangan dokter-dokter, dirinya sering mengatakan, kenapa RSSA tetap bertahan karena rumah sakit itu punya pemerintah.
“Gaji semua pegawai baik direktur hingga karyawan dari gubernur. Artinya semua yang bekerja di RSSA tidak mengharapkan pemasukan dari pasien. Mau pasien bayar atau hutang, gaji tetap jalan,” terangnya.