BPIP Gelar FGD Bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara
“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” imbuh Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai dewan perwakilan rezim bukan dewan perwakilan rakyat.
Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi.
Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik.
Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin “tergerus”.
Berkaca dari data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 misalnya, Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor 6,53 dan berada di peringkat ke-56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
“Flawed democracy menjadi situasi kita. Mekanisme elektoral yang jadi syarat prosedural demokrasi dan kebebasan sipil tetaplah belum cukup kokoh karena menghadapi oligarki di level atas, tapi di bawah rakyat menghadapi intoleransi akibat proses politik itu,” ujar Martin L Sinaga, Tokoh agama dan ahli Etika yang juga pengajar di STF Driyarkara.
Beberapa catatan krusial dengan penilaian rendah dalam indeks tersebut berkaitan dengan budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,29).