Buat Standar Kesehatan Pilot Layak Terbang
Meski begitu, impian menjadi abdi negara tidak pernah padam. Maka, pada 1992, ketika muncul peluang sebagai pegawai negeri, Susanto mendaftar. Dia diterima dan ditugaskan sebagai dokter di Puskesmas Maluku Utara.
Selesai bertugas di daerah terpencil, Susanto kemudian diminta pindah ke Departemen Kesehatan (Depkes) Kantor Wilayah Jatim pada 1996 hingga 2009. Kemudian, dia pindah menjadi kepala KKP Semarang hingga 2011. Setelah itu, dia bertugas di Kemenkes pusat selama setahun. Pada 2013, Susanto ditugaskan menjadi kepala KKP Surabaya.
Sejak kepemimpinannya, KKP Surabaya meraih ISO 9001:208 selama dua tahun berturut-turut. Karena prestasi itulah, Susanto ditunjuk depkes untuk membuat pedoman layak terbang bagi penumpang. Pedoman tersebut juga digunakan dokter seluruh KKP dan bandara di Indonesia.
Susanto membuat ketentuan seseorang laik terbang atau tidak. Jika mengidap penyakit menular seperti TB, MERS CoV, flu burung, dan ebola, orang itu dilarang terbang. ”Sudah mirip polisi kesehatan,” ucap pria yang mulai menjadi Pengurus Pusat Dokter Penerbangan Indonesia periode 2012–2015 itu.
Susanto mengatakan, posisi dokter penerbangan sangat krusial. Menurut dia, keselamatan penerbangan sangat bergantung pada kondisi pilot dan kopilot. Termasuk kru lain seperti pramugari dan pengendali lalu lintas udara (air traffic controller).
Para awak udara yang sakit bisa membahayakan keselamatan penumpang. Susanto menerangkan, semakin tinggi penerbangan, tekanan udara kian berkurang. Udara mengembang di dalam tubuh. Akibatnya, dalam tingkat yang parah, pendengaran menjadi tuli. Bahkan, bisa pingsan atau meninggal di dalam pesawat.
Kasus pingsannya pilot terbukti pernah terjadi di salah satu perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia. ”Maka, di pesawat diberi permen agar udara keluar dari mulut yang mengunyah. Adanya kopilot juga mengantisipasi kalau pilot mendadak sakit,” ujarnya.
Menurut dia, jika pilot sampai meninggal, itu tentu membahayakan nyawa penumpang. Salah satu penyebab terjadinya kondisi fatal tersebut adalah kurangnya oksigen. Susanto mencontohkan, ukuran oksigen pada darah orang normal mencapai 96–100 persen.