Bupati Pengatur Negara
Selama masa kampanye ini Enthus seperti kipas angin: muter terus. Pagi, siang, sore, malam.
Tengah malam pun masih menerima tamu. Ia baru tidur menjelang subuh.
Kebiasannya melek malam (saat mendalang) terbawa. Dan memang Enthus tetap mendalang. Jumat-Sabtu-Minggu Enthus melayani order. Termasuk dari luar kota. Mendalang semalam suntuk. Suatu saat Enthus bilang kepada saya: gaji saya sebagai bupati tidak ada apa-apanya dibanding pendapatan saya dari mendalang.
Memang Enthus, sebagai bupati, dikenal bersih. Terbuka. Mudah dijadikan tempat curhat warganya. Suatu saat saya nonton pagelarannya. Sampai pagi.
Saya pun bertanya: apakah jadi bupati itu berat. Inilah jawabnya: Saya kan sudah biasa ngatur negara, apa susahnya ngatur hanya kabupaten…hahahhaa. Kami pun tertawa-tawa.
Sebagai dalang Enthus memang sudah biasa ngatur negara: Amarta, Astina, Mandura, Ndworowati ….
Yang saya suka dari Enthus adalah: semuanya. Suaranya yang bulat-merdu-mantab. Yang bisa mewakili karakter suara puluhan tokoh wayang yang berbeda. Yang bisa menangis sesenggukan dengan trenyuhnya. Yang bisa tertawa ngakak dengan naturalnya. Yang bisa marah dengan garangnya. Yang bisa merayu dengan mendayunya.
Bahkan bisa mencampur tawa ngakak dengan tangis sedih. Seperti dalam adegan Petruk-Bagong menghadapi ancaman Gatotkaca. Dalam lakon Semar Membangun Kayangan. Bisa dilihat di Youtube.