Catatan Ketua MPR RI: Urgensi PPHN versus Hoaks Amendemen
IKN di Penajam pasti terwujud jika program pembangunan ini ditetapkan dalam PPHN.
Selain proyek IKN, negara sudah berketetapan untuk memulai hilirisasi industri guna memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam (SDM).
Hilirisasi sudah dimulai ketika Presiden Jokowi berkeputusan menghentikan ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah atau raw material.
Akan diproses di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah lebih besar, nikel akan diolah menjadi katoda baterai, stainless steel atau litium baterai untuk selanjutnya diintegrasikan dengan industri otomotif.
Untuk tujuan strategis seperti itulah direalisasikan proyek fasilitas pengolahan hasil tambang (smelter) milik PT Freeport Indonesia, di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Dari pada sekadar diekspor dalam bentuk bahan mentah, pengolahan nikel akan membuka kesempatan bagi Indonesia mengembangkan industri mobil listrik, yang pada gilirannya akan menyumbangkan pendapatan dalam negeri yang jauh lebih besar.
Strategi yang nyaris sama akan diterapkan untuk komoditas lain, seperti bauksit atau biji aluminium hingga sawit.
Pemerintah akan mendorong BUMN dan investor swasta untuk mendirikan industrinya di dalam negeri.
Apakah hilirisasi industri untuk memaksimalkan pemanfaatan SDA akan berlanjut setelah Presiden Jokowi mengakhiri masa bhaktinya?
Tidak mudah menjawab pertanyaan seperti ini. Namun, strategi hilirisasi industri yang sudah dimulai sekarang akan berantakan jika pemimpin baru pengganti Jokowi gampang berubah sikap karena lobi-lobi pihak asing.
Agar pembangunan IKN bisa diselesaikan, program ini harus ditetapkan dalam PPHN.
Dan, agar hilirisasi industri untuk memaksimalkan pemanfaatan SDA terlaksana dengan konsisten sehingga targetnya tercapai, hilirisasi industri itu harus pula ditetapkan dalam PPHN.
PPHN yang dipayungi konstitusi mewajibkan presiden, gubernur, bupati hingga walikota untuk melanjutkan semua program pembangunan yang telah ditetapkan dalam PPHN.
Jadi, PPHN tidak berfokus pada politik praktis atau kekuasaan, melainkan lebih pada pemerataan pembangunan negara-bangsa yang berkelanjutan, demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. (***)