Catatan Kritis Terhadap Pidato Presiden Jokowi pada Akhir Periode Kepemimpinannya
Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RITak mudah menyatakan ini dalam data, namun secara faktuil isu ini bergulir di masyarakat, sehingga masyarakatlah yang kemudian memberi penilaian.
Sistem kepemimpinan Jokowi yang mengedepankan prinsip demokrasi seolah berubah menjadi otoritarian legalisme ketika anaknya menjadi calon dan terpilih menjadi Wakil Presiden RI. Keluarganya menjadi kepala daerah maupun pimpinan partai. Fenomena ini secara kebetulan juga menurunkan tingkat kepercayaan publik.
Dalam kontestasi Pilkada yang menjadi cermin desentralisasi dan pemberian otonomi daerah, para calon pemimpin kepala daerah seperti tersandera dengan “restu Presiden” atau penggunaan pendekatan kekuasaan (machtstaat) dalam penyelenggaraan kehidupan berorganisasi dan politik.
Lebih jauh lagi keluarga Presiden kini juga bertarung dalam mengisi kepemimpinan di daerah yang melebarkan jangkauan dan kelanggengan kekuasaan.
Hal ini terlihat tidak ada yang salah, namun jika dikaji secara lebih mendalam, persoalan etika dan konflik kepentingan menjadi isu. Tidak terelakkan ada sebagian pihak yang menilai bahwa ini adalah sebuah upaya politik dinasti, hal yang paling dihindari di era reformasi pasca orde baru.
Pada akhirnya persoalan ini akan berpengaruh pada public trust dan profesionalisme kerja.
Sebuah Catatan Akhir
Pada kesempatan tersebut seharusnya Presiden menggunakan momen pidato terakhirnya untuk memotret hasil kinerja dan peninggalan (legacy) dalam agenda kedepannya sebagai seorang negarawan.