Catatan Kritis Terhadap Pidato Presiden Jokowi pada Akhir Periode Kepemimpinannya
Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RIMasyarakat sebenarnya menunggu pidato yang menjelaskan seluruh keraguan masyarakat terhadap Pemerintah yang dinilai telah membangun pengaruh yang terlalu besar dan mengarah pada politik dinasti. Masyarakat menunggu momen pidato Presiden tersebut untuk melihat keadaan sebenarnya dari berbagai hal yang terjadi.
Akan tetapi pidato tersebut justru terlihat seperti formalitas dan/atau “singkat-singkat” saja. Presiden justru terlihat seperti “main aman” dan tidak mampu berkata-kata tentang capaian rencana hebatnya selama ini dalam upaya membangun dan memajukan bangsa, seperti kehidupan demokratis dan penghargaan terhadap HAM dan ruang publik.
Kemudian ketahanan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan, perlindungan terhadap hak warga negara maupun sistem hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan.
Masyarakat sebenarnya mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan sosial sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945.
Oleh sebab itu melalui momen pidato kenegaraan, Presiden dapat mengirim sinyal untuk pemerintah ke depan dalam membangun kehidupan demokrasi yang lebih bersih, jujur, dan adil.
Pemerintah harus berkomitmen untuk menjamin kehidupan demokrasi dan hukum yang adil dan independen sehingga dapat melahirkan kepemimpinan yang bekerja untuk rakyat bukan untuk kekuasaan semata.
Namun itu belum tercermin dalam pidato Pak Jokowi yang akan menyerahkan tongkat estafet pada presiden selanjutnya, Prabowo Subianto.
Agenda berkelanjutan yang diungkapkan terlihat seperti gestur politik untuk meneruskan kekuasaan dalam mengatur kehidupan politik dan demokrasi.