Cerita Lucu Jurnalis Indonesia di Balik Program Jendela Australia ABC
Saat berada di Darwin inilah Tasya merasa melakukan liputan yang paling menantang.
"Kami bertemu langsung dengan suku Aborigin yang memiliki kultur yang berbeda," ujarnya. "Kami sudah siap melakukan wawancara, tapi kemudian terhalang dengan aturan yang berlaku, karena mengharuskan tokoh adat yang dipercaya sebagai juru bicara, sehingga kami pun tidak bisa melihat lebih dekat bagaimana keseharian mereka."
Dari Darwin mereka kemudian mengunjungi Melbourne. Disini mereka memiliki kesempatan untuk melihat aspek transportasi dan infrastruktur yang membawa Melbourne sebagai kota paling nyaman dihuni di dunia selama lima tahun berturut-turut.
Keramah-tamahan warga Melbourne dengan kayanya unsur seni dari berbagai budaya membuat kota ini menjadi kota favorit keempat jurnalis asal Jakarta ini.
"Saya kangen dengan suasana minum kopi di pinggi jalan, bunyi 'tuk,tuk,tuk' di lampu lalu lintas, burung-burung yang sering berkoak-koak," ungkap Niko. "Saya merasakan keramahan 'orang bule' di sana... mereka tak sungkan untuk tersenyum, bertegur sapa, dan menawarkan pertolongan."
Adi pun mengaku sangat terkesan dengan keramahan warganya.
"Orang Australia pada umumnya adalah ramah dan baik," kata Adi yang pernah kehilangan dompetnya di Melbourne, tetapi kemudian ia mendapatkannya kembali setelah melapor ke polisi.
Dari Melbourne, kemudian keempat jurnalis mengunjungi Sydney. Di kota ini mereka meliput keindahan arsitektur gedung-gedung, termasuk gedung ramah lingkungan. Mereka juga sempat melakukan liputan di kawasan Randwick, yang dikenal sebagai kampungnya orang Indonesia di Sydney.