Corona Merajalela, Kok Birokrasi Tes COVID-19 Masih Berbelit?
Dengan demikian spesimen harus melalui rute panjang. Dari rumah sakit rujukan, spesimen dibawa ke laboratorium pemeriksa, berlanjut ke Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof.dr. Sri Oemijati, lantas ke Balitbangkes dan Ditjen P2P.
Selanjutnya hasil pemeriksaan itu baru dikembalikan kembali ke dinas kesehatan di daerah untuk diteruskan ke rumah sakit rujukan. “Jika spesimen berasal dari RS nonrujukan, apalagi puskesmas, jalurnya lebih panjang lagi,” kata Dradjad.
Lebih lanjut Dradjad mengatakan, memang Kementerian BUMN baru saja mendatangkan 18 unit Roche LightCycler dan 2 unit MagNa Pure LC. Roche LightCycler dan MagNa Pure LC merupakan alat reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) berstandar dunia.
Dradjad pun mengapresiasi langkah pemerintah mendatangkan peralatan yang didistribusikan ke RS BUMN di berbagai provinsi itu. Namun demikian, peran peralatan itu kurang maksimal jika spesimen dan keputusannya terhambat oleh birokrasi.
“Oleh karena itu, potong birokrasi tes RT-PCR COVID-19 ini. Jika perlu, lakukan desentralisasi pemeriksaan. Kemenkes mengoordinasikan dan mengontrol kualitas pemeriksaan. Kita perlu cepat. Jangan birokratis di tengah ancaman wabah,” cetusnya.
Dradjad mendambahkan, pemda juga harus diberi anggaran cukup untuk penanggulangan COVID-19. “Jangan beban PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar, red) ditimpakan ke daerah, tetapi anggaran COVID-19 tersentralisasi,” katanya.(ara/jpnn)