Daan Mogot Bukan Sekadar Nama Jalan, Inilah Pertempuran Terakhirnya
Tiba-tiba sore yang tenang itu berubah gaduh. Terdengar rentetan senapan. Entah dari mana arahnya. Ini terjadi di luar rencana. Serdadu Jepang yang sudah terlatih sontak merebut senjata. Terjadi baku tembak hingga “perkelahian sangkur satu lawan satu,” kenang Moehkardi.
Pasukan republik tak mampu mengalahkan saudara tua. Daan Mogot, dua perwira yang mendampinginya--Soebianto dan Soetopo--serta 33 orang taruna AMT gugur. Tiga puluhan orang lainnya ditawan. Para tawanan dipaksa menggali dan mengubur para kawannya.
Empat hari kemudian, 29 Januari 1946 diadakan pemakaman ulang. “Saya spesial datang ke situ sebagai wartawan harian Merdeka,” kenang Rosihan Anwar.
Hari itu, sebagaimana ditulis Rosihan, banyak pejabat hadir. Ada Haji Agus Salim, yang anaknya Sjewket Salim—taruna AMT turut gugur. Hadir juga Margono Djojohadikusumo pendiri BNI yang kehilangan dua putranya; Kapten Subianto dan taruna Soejono.
Saat prosesi pemakaman ulang, dari kantong baju jasad Soebianto--paman dari Prabowo Soebianto yang tempo hari nyapres--ditemukan selarik puisi karya Henriette Roland Holst, penyair perempuan komunis Belanda sahabat Bung Hatta.
wij zijn de bouwers van de temple niet/wij zijn enkel de sjouwers van de stenen/wij zijn het geslacht dat moest vergaan/opdat een betere oprijze uit onze graven
Rosihan menerjemahkan, “kami bukan pembangun candi/kami hanya pengangkut batu/kamilah angkatan yang mesti musnah/agar menjelma angkatan baru/di atas kuburan kami telah sempurna.”
Kini, sajak itu terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang. Dan untuk mengenang keberanian sang pemimpin pertempuran tersebut, nama Daan Mogot diabadikan pada sebuah jalan raya di Jakarta Barat. (wow/jpnn)