Dark Academia
Oleh: Dhimam Abror DjuraidFleming menganggap kampus sudah mampus dilindas oleh gelombang neoliberalisme yang menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai mesin penghasil uang dari pada penghasil cendekiawan.
Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia. Di Indonesia kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola oleh pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan.
Para ilmuwan dan intelektual--yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus--berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.
Undang-undang Omnibus Law 2020 makin membuat kondisi kampus mengenaskan. Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri.
Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis. Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit. Bukan hanya modal yang didatangkan dari luar, rektor pun bisa saja diimpor dari luar.
Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci. Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari. Ada insentif tambahan untuk kehadiran, dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.
Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja. Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang. Atau, lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang.
Yang terjadi kemudian banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mendaku (mengeklaim) dengan menempelkan namanya sebagai ‘’first author’’. Sang dosen masih memaksa para mahasiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.