Dimas Kanjeng dan Logika Ekonomi
Oleh: Zakki AmaliKerapuhan mentalitas ini terjadi di tengah-tengah upaya pemerintah untuk memperbaiki jiwa masyarakat melalui program revolusi mental.
Dalam kasus Dimas Kanjeng, logika ekonomi bersisihan dengan agama. Menolong dan menipu beda tipis. Label dan institusi keagamaan seperti masjid dan pesantren digunakan untuk menyamarkan praktik dugaan penggandaan uang.
Adanya orang-orang di padepokan yang disebut santri dan penggunaan istilah sultan (pengepul uang) mempertegas pertautan logika ekonomi dan agama.
Agama memang dituntut untuk memberikan jalan ekonomi bagi umatnya. Pada titik tersebut, penggandaan uang beroleh legitimasi.
Logika ekonomi Dimas Kanjeng yang sesat menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat kita untuk memperhatikan pembangunan etos perekonomian. Bukan sekadar fisiknya, tapi juga jiwanya.
Jiwa-jiwa kreatif harus diciptakan agar mampu memenuhi kebutuhan ekonomi di tengah persaingan yang ketat.
Era modern menyediakan sumber pendapatan baru yang perlu diketahui masyarakat sehingga ceruk-ceruk bisnis baru segera diisi orang-orang baru dengan etos kerja yang istiqamah. Semoga! (*)