Diprediksi Isu Ini Kembali Serang Jokowi dan Prabowo
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Said Salahudin mengatakan, selama ini kerap muncul persepsi keliru dari sebagian masyarakat bahwa kalau kampanye orang menyampaikan tentang Firman Tuhan berdasarkan kitab suci langsung dituding sebagai penyebar isu SARA . Bahkan, diyakini sebuah pelanggaran.
"Padahal, yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu, adalah pada konteks menghina, bukan membicarakan atau menyampaikannya," ujar Said di Jakarta, Sabtu (28/7).
Karena itu, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini menilai, penyelenggara pemilu perlu membuat batasan terkait itu SARA dalam penyelenggaran Pilpres 2019. Tujuannya, agar masyarakat mempunyai ukuran yang lebih jelas.
Begitu juga soal larangan menghina calon atau peserta pemilu, Said juga menilai perlu dirinci konkretnya seperti apa. Misal, perbuatan apa saja yang dilarang agar ada batasan yang jelas antara kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign).
"Kalau sifatnya negative campaign, dimana suatu pihak menyebarluaskan informasi tentang kekurangan atau catatan buruk mengenai calon yang menjadi rivalnya, KPU tentu tidak bisa melarangnya," ucap Said.
Sebab, disebut kampanye negatif ketika suatu 'serangan' dilakukan dengan penyertaan data pendukung yang valid. Lebih dari itu, 'negatif campaign' merupakan ranah politis yang KPU tidak boleh masuk ke situ.
"Tapi soal black campaign harus ada aturan yang tegas. Jika tidak, masa kampanye Pilpres 2019 yang diperkirakan bakal kembali berhadapan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, akan kembali diramaikan dengan isu seperti Jokowi yang dituduh PKI, Prabowo (diserang dengan tuduhan) seorang pelanggar HAM dan seterusnya," katanya