Disiram Air Mendidih agar Karapas Lepas, Penyu Menangis
“Pokoknya sejak gencar-gencarnya larangan penjualan aksesori penyu di sini (Kabupaten Berau), saya juga mulai takut-takut. Makanya sekarang enggak melaut lagi,” ungkap Boy.
Dari perbincangan tersebut, tim juga mendapat informasi para pedagang yang disebut Boy masih menerima pembelian karapas penyu dari nelayan.
Satu nama yang terucap dari mulutnya, sebut saja Emil, menjadi petunjuk bagi tim untuk menggali informasi lain seputar proses pembuatan aksesori hingga pasar penjualannya yang menjanjikan.
Saat ditemui di kediamannya, Emil sempat menaruh curiga. Bahkan sempat menduga tim Berau Post adalah intel dari jajaran Polres atau Kodim Berau. Namun setelah diyakinkan bahwa tim bukanlah aparat, Emil perlahan mulai terbuka.
Diakuinya, ketika tim menemuinya, dirinya dan beberapa pedagang lain memang memilih tak lagi menjual aksesori berbahan karapas penyu. Tapi hanya untuk sementara waktu. Saat musim libur panjang, atau saat wisatawan yang berkunjung ke Pulau Derawan cukup banyak, maka dirinya dan pedagang lainnya kembali menjual aksesori berbahan karapas penyu.
Bermodal antara Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk satu karapas penyu, Emil dan pedagang lainnya bisa meraup pendapatan cukup mengiurkan. Memang keuntungannya yang didapat tidak banyak, namun aksesori yang dihasilkan selalu menjadi buruan utama wisatawan.
“Memang sudah dilarang, tapi tetap saya bikin, karena tamu (wisatawan, red) memang banyak yang cari itu,” sebutnya.
Umumnya disebutkannya, setiap satu karapas terdiri dari 13 ruas. Setiap ruas, dapat menghasilkan hingga 15 buah aksesori. Setiap satuannya, dijual mulai dari Rp 15 ribu untuk cincin sampai dengan Rp 30 ribu dalam bentuk gelang.