Diskriminasi Sawit Indonesia, Uni Eropa Mengklaim Lindungi Dunia dari Perubahan Iklim
Sebagai sesama produsen kelapa sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia menentang pemberlakuan EUDR yang dianggap diskriminatif terhadap produk unggulan mereka.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya mengatakan bahwa implementasi EUDR merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang sangat vital bagi Indonesia, seperti kakao, kopi, karet, produk kayu, dan minyak sawit.
Selain itu, kebijakan tersebut juga menafikan berbagai upaya Indonesia yang telah dilakukan terkait isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversitas sebagaimana dalam konvensi multilateral, seperti Perjanjian Paris 2015.
Airlangga menyebut bahwa negara anggota produsen minyak sawit (CPOPC) secara ketat sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan.
“Bahkan, level deforestasi di Indonesia turun 75 persen pada periode 2019-2020. Indonesia juga sukses mengurangi wilayah yang terdampak kebakaran hutan menjadi 91,84 persen,” ujar Airlangga dalam acara jamuan makan malam bersama perwakilan organisasi masyarakat sipil di Brussels, Belgia, akhir Mei lalu.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia menempati posisi pertama sebagai penghasil kelapa sawit dunia.
Pada 2022, Indonesia tercatat menghasilkan 48,24 juta ton CPO per tahunnya, dengan luas perkebunan kelapa sawit seluas 16,38 juta hektar atau merupakan penyuplai 55 persen kebutuhan sawit dunia.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume ekspor kelapa sawit negara-negara EU mencapai 2,05 juta ton pada 2022. Volume ekspor tersebut turun 23 persen dibandingkan 2021 yang mencapai 2,66 juta ton.