DPR Bantah Mempersulit KPK
Arsul yang juga wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu juga menepis tudingan DPR menutup-nutupi dokumen, termasuk daftar kehadiran saat revisi UU KPK. "Tidak juga, kenapa harus ditutupi," tegasnya.
Arsul justru mempertanyakan untuk apa sebenarnya dokumen-dokumen itu, mengingat fokus uji formil itu harusnya apakah pasal-pasal atau isi UU KPK itu bertentangan dengan UUD 1945.
"Ngapain juga yang dipersoalkan absennya berapa, ini berapa," kata dia.
Sekretaris jenderal Partai Persatuan Pembangunan (Sekjen PPP), itu menuturkan selama ini uji formil terhadap UU belum ada yurisprudensinya di MK.
"Karena MK kalau kami lihat dalam UUD Pasal 24C, itu menguji secara materi. Makanya disebutnya uji materi. (Jadi) materinya, bukan prosesinya," ungkapnya.
MK menggelar sidang pendahuluan uji formal tentang UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, di gedung MK, Jakarta, Rabu (8/1).
Usai sidang Violla Reininda, anggota Tim Advokasi UU KPK menjelaskan soal ketiadaan bukti di persidangan. Dia mengaku, pihaknya kesulitan mendapatkan dua bukti tersebut berupa risalah rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR dan daftar hadir anggota DPR dalam sidang paripurna saat pengesahan UU KPK pada 17 September 2019.
Menurut Violla, pihaknya bukan tidak mencari dua bukti yang diinginkan di persidangan. Namun, pihak DPR terkesan tidak kooperatif memberikan bukti tersebut.
"Pertama kami agak kesulitan untuk mengakses alat bukti dan kedua alat bukti itu dianggap tidak bisa dipublikasikan di PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) DPR," jelas Violla di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu. (boy/jpnn)