DPR Dukung Satgas Pangan Tindak Mafia dan Kartel Pangan
Bulog sebagai instrumen negara untuk mengendalikan harga pangan kerap terhambat dan sulit berkompetisi dengan perusahaan swasta, lantaran segala kebijakannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Jika melanggar, maka kena 'semprit' aparat hukum.
Sedangkan korporasi, lebih fleksibel karena berkuasa penuh atas sumber daya yang dimilikinya serta bebas membeli atau menjual barang dengan harga murah hingga mahal.
"Namanya pedagang, sudah pintar hitung-hitungannya. Apalagi, kalau dia sudah menguasai, bahwa hasil panen dibeli semua, distok semua," ucapnya. Karenanya, adakalanya justru Bulog membeli barang dari swasta dengan harga tinggi.
Firman mengungkapkan, bermain di sektor pangan sangat menggiurkan. Sebab, tanpa perlu kerja keras dan hanya main kertas, namun mendapatkan untung besar.
"Coba dia kalau membeli gabah kering Rp 4.900/kg, tapi dia bisa menjual beras sampai Rp13.000/kg, bahkan Rp 20 ribu kg beras premium. Yang diuntungkan siapa?" tanyanya.
Padahal, Firman mengingatkan, para pengusaha nakal tersebut tidak pernah membantu petani, baik dalam memenuhi kebutuhan bercocok tanam hingga penyediaan sarana prasarana infrastruktur. Justru, semuanya dibiayai negara melalui subsidi dan bantuan.
Kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Tengah III itu, tanpa adanya tindakan tegas terhadap para kartel dan mafia tersebut, maka masa depan Indonesia ke depan bakal terpuruk.
"Negara agraris, tapi industri pertanian dikuasai asing, ini berbahaya. Indonesia penduduknya besar, jumlah kebutuhan sangat tinggi. Tetapi ketika tidak bisa membendung kartel, ini bahaya," tegasnya.