Empat Perusahaan Kompak Termasuk PT LEN dan PT Pindad Dorong Industri Pertahanan Berdaya Saing
“Keputusan entah membeli sesuatu alutsista baru dengan teknologi tertentu ataupun alustsita bekas, diakibatkan kebutuhan mutlak dan segera. Saya yakin menhan punya dasar kuat, misal segera untuk membeli alutsista," kata Agus yang baru saja meluncurkan buku 'Ekonomi Pertahanan Menghadapi Perang Generasi Keenam' bulan Juli 2020 lalu.
Agus menyinggung tentang belanja militer yang saat ini menjadi efek gentarsebagai bentuk kekuatan pertahanan yang berfungsi sebagai daya penggetar. Sedangkan strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran.
Agus mengatakan, strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan punya efek gentar. Alhasil, kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatunegara untuk menghindari dan memengaruhi perilaku negara lain.
"Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, kekerasan harus diantisipasi dan dihindari lewat diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagai daya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil, apabila kekuatan tidak digunakan," kata Agus.
Berbeda dengan Agus, Ketua Harian Pinhantanas Mayjen (Purn) Jan Pieter Ate, mengkritik langkah Menhan yang berencana membeli alutsista bekas.
Menurut dia, jika kebijakan lebih memprioritaskan membeli alutsista bekas maka pertahanan Indonesia makin tertinggal.
Dia menyoroti, pembelian Typhoon yang diproduksi belasan tahun lalu, dan di negaranya sudah tidak dipakai, malah akan digunakan untuk memperkuat TNI. Jika hal itu terjadi maka kekuatan TNI bisa dipertanyakan.
"Indonesia kok beli bekas terus, beli teknologi yang baru, supaya indhan kita itu bisa catch up. Jadi kita bicara kita generasi keenam, stealth,big data, musuhmu itu nanti bukan lawan barang bekas, tapi datang bawa teknoogi terbaru," kata Ate dengan menggebu-gebu.