Fadli Zon: Kunjungan Kenegaraaan Harusnya Tidak Ditumpangi Kepentingan Keluarga Presiden
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Turki dan Jerman yang membawa serta seluruh anggota keluarganya, mulai dari isteri, anak, menantu, hingga cucu.
Rabu (5/7) kemarin, Presiden Jokowi yang didampingi Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, bertolak ke luar negeri. Jokowi dijadwalkan menghadiri KTT G20 di Hamburg, Jerman. Namun sebelum ke Jerman, Presiden akan singgah ke Turki untuk bertemu Presiden Erdogan.
“Meski tidak ada larangan tegas, membawa serta seluruh anggota keluarga dalam kunjungan resmi kenegaraan adalah tindakan yang kurang pantas. Presiden mestinya bisa menjadi teladan mengenai hal ini. Apalagi, dalam undang-undang keprotokolan yang disebut pendamping Presiden atau Wakil Presiden hanyalah isteri atau suami, bukan anak, menantu, apalagi cucu. Jadi jangan salahkan jika publik kemudian melihat kunjungan kenegaraan kali ini sebagai telah ditumpangi oleh agenda liburan keluarga Presiden.”
“Sebagai pembanding, menurut aturan keprotokolan, pimpinan DPR dalam kunjungan muhibah juga diperbolehkan membawa serta isteri atau suami, atas biaya negara, namun dalam praktiknya fasilitas itu jarang sekali digunakan. Dan fasilitas itupun khusus muhibah, karena dalam kunjungan kerja lainnya, fasilitas itu tidak diberikan.”
“Memang, sesuai aturan yang berlaku anggota keluarga Presiden juga mendapatkan fasilitas protokoler tertentu. Namun, karena fasilitas itu bersifat melekat, Presiden mestinya bijaksana dan bisa memilah-milah, jangan sampai fasilitas bagi kerja kepresidenan ditumpangi oleh kepentingan pribadi keluarga Presiden, apalagi ini dilakukan secara mencolok.”
“Saya kira ini preseden yang kurang pantas. Seingat saya, Presiden Soeharto yang sangat powerfull saja saat berkuasa dulu tidak pernah membawa cucunya dalam kunjungan resmi kenegaraan, kecuali untuk keperluan yang bersifat pribadi, seperti berobat dan sejenisnya.”
“Karena soal ini telah menjadi sorotan publik, saya kira Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi perlu memberi penjelasan terbuka atas hal tersebut, terutama terkait tata aturannya. Jangan sampai preseden semacam ini ke depannya malah jadi model bagi penyelenggara negara lainnya. Harus segera ditegaskan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, jangan sampai diabu-abukan. Ini tidak bagus bagi agenda reformasi birokrasi kita.” (adv/jpnn)