Fahira Idris Tiba-tiba Meminta Maaf kepada Rakyat
Menurut dia, penolakan DPD terhadap klaster ketenagakerjaan juga telah disampaikan ketua PPUU pada rapat kapoksi dengan pimpinan DPR. Dalam setiap pembahasan, DPD tak pernah berhenti mendesak agar kewenangan daerah tetap diakomodasi dalam RUU Ciptaker.
"Dikembalikannya kewenangan daerah dari draf awal, merupakan bukti perjuangan DPD RI untuk menjaga prinsip otonomi daerah," ujarnya.
Namun sayang, kata dia, permintaan DPD secara kelembagaan untuk menghentikan dan menunda pembahasan Omnibus Law Ciptaker sampai pandemi Covid-19 berakhir, belum dikabulkan oleh DPR dan pemerintah sehingga pembahasan terus bergulir dam disahkan DPR.
“Kesulitan DPD RI memuluskan usulannya untuk diakomodir dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini, disebabkan keterbatasan kewenangan DPD RI. Sebagai lembaga negara seharusnya kelak DPD RI diberikan kewenangan yang cukup dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Memang, Fahira menjelaskan, bila merujuk Pasal 22D UU MD3, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas berbagai UU. Kewenangan pengambilan keputusan tidak diberikan kepada DPD.
Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD di bidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu. Kemudian, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.
"Dengan Keterbatasan ruang lingkup DPD RI dalam bidang legislasi, DPD hanya dilibatkan dalam pembahasan tingkat I dan tidak dilibatkan langsung dalam proses pengesahan dan persetujuan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dengan DPR," paparnya.
Fahira berharap rakyat bersedia memahami keterbatasan kewenangan DPD. Dengan segala keterbatasan kewenangan ini, DPD semaksimal mungkin telah memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam Omnibus Law UU Ciptaker.