Gara-Gara Politikus Rusia, Kericuhan Pecah di Ibu Kota Georgia
jpnn.com, TBILISI - Ibu kota Georgia, Tbilisi, negara pecahan Uni Soviet, tiba-tiba menegang Kamis malam lalu (20/6). Sepuluh ribu warga yang mengepung halaman gedung parlemen Georgia diusir paksa. Mereka dianiaya aparat karena menolak bubar sampai tuntutan mereka dipenuhi.
Tak ada yang menyangka kericuhan bakal terjadi pada pergantian malam itu. Sebab, aksi yang dilakukan masyarakat berlangsung damai. Selain upaya memasuki gedung parlemen yang gagal pada sore hari, mereka tak pernah memprovokasi atau menyerang aparat.
Yang keluar hanyalah ejekan bagi Sergei Gavrilov, Rusia, dan slogan pro-Uni Eropa. Mereka berada di sana memang untuk memprotes keberadaan Gavrilov, legislator Rusia, dalam forum Interparliamentary Assembly on Orthodoxy (IAO). Kabarnya, dia diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato pembukaan dan duduk di kursi ketua parlemen.
"Ini adalah tamparan bagi rakyat Georgia," ujar Elene Khoshtaria, anggota parlemen fraksi oposisi, kepada BBC.
BACA JUGA: Gubernur Anies Dinilai Sangat Berperan Meredam Kericuhan 22 Mei
Georgia memang punya sejarah pahit dengan Rusia. Kedua negara pernah terlibat dalam perang perebutan dua wilayah, Abkhazia dan Ossetia Selatan, pada 2008. Georgia kalah dan gagal merebut kembali daerah-daerah tersebut hingga saat ini. Karena itulah, mereka mengamuk saat tahu ada politikus Rusia yang dijamu parlemen.
Kericuhan tersebut mengakibatkan 240 orang terluka. Lebih dari 100 orang masih dirawat di rumah sakit. Bahkan, salah seorang dokter mengatakan bahwa dua pasiennya kehilangan mata mereka.
"Sangat memalukan. Aparat gagal menghormati HAM dan menggunakan kekerasan," ujar Giorgi Gogia, direktur wilayah Eropa dan Asia Tengah Human Rights Watch.