Gratifikasi FCTC Ancam Petani Tembakau
Selasa, 12 Oktober 2010 – 16:43 WIB
Hal yang sama juga diungkap advokat dan pengamat Prakarsa Bebas Tembakau, Gabriel Mahal. Menurut dia, perlu tidaknya Indonesia meratifikasi konvensi tersebut harus dilihat dari apakah Indonesia punya kepentingan nasional dengan tembakau beserta industrinya dari hulu hingga hilir. "Faktanya, Indonesia memiliki kepentingan atas tembakau dengan segala industrinya itu,” jelas Gabriel Mahal.
Menurut Gabriel, kepentingan nasional atas tembakau ini harus dihadapkan dengan kepentingan di balik konvensi tersebut. “Sejarah lahirnya konvensi tersebut sarat dengan kepentingan perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) dari korporasi-korporasi farmasi multinasional. Konvensi itu adalah alat dan mekanisme hukum untuk mengontrol perdagangan tembakau di satu sisi, dan pada sisi yang lain mendukung perdagangan obat-obat NRT itu. Tidak heran jika prioritas desakan kepada pemerintah adalah mematikan commercial freedom of speech dari tembakau dan industrinya lewat larangan iklan dan promosi produk tembakau,” ungkap Gabriel.
Dia jelaskan, dewasa ini Amerika Serikat termasuk salah satu negara yang mengekspor obat-obat NRT ke 9 negara Eropa, 4 negara Asia dan Australia, dan Meksiko. Para eksportir Amerika meraup keuntungan penjualan NRT ini di 15 negara, di antaranya Belgia, Spanyol, Perancis, UK, Jerman, India, Filipina. Sekalipun demikian, perdagangan obat NRT ini masih defisit. Impor obat-obat NRT ini masih lebih besar. Defisit perdagangan ini diupayakan untuk diatasi dengan memacu produksi NRT buatan Amerika yang sekaligus dapat membuka lapangan kerja bagi rakyat AS.