Gugat ke Mahkamah Konstitusi, Para Ibu Ini Hanya Ingin Hak Anak-anaknya Terpenuhi Melalui Ganja Medis
Tetapi itu tidak membuatnya berhenti berjuang.
Selasa kemarin (14/09) untuk keenam kalinya, Dwi Pertiwi, Nafiah Murhayanti, dan Santi Warastuti bersama dengan Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform, dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.
Dalam kesaksiannya, Stephen Rolles, analis kebijakan senior dari Transform Drug Policy Foundation, lembaga advokasi kebijakan obat?obatan di Inggris mengatakan sejumlah konvensi internasional "tidak memberlakukan larangan mutlak terhadap obat-obatan apa pun untuk penggunaan medis dan ilmiah, sekali pun obat yang dianggap paling berisiko."
"Secara spesifik konvensi-konvensi tersebut menyatakan obat-obatan yang lebih berisiko harus tunduk pada kontrol yang lebih ketat, tetapi tidak dilarang untuk penggunaan medis dan ilmiah," kata Stephen.
Dalam sidang sebelumnya yang digelar akhir Agustus, pemohon menghadirkan tiga saksi ahli yang lain yakni ahli obat-obatan dari Imperial College London, David Nutt, Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Asmin Fransiska, serta guru besar kimia bahan alam Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh Musri Usman.
Penggunaan ganja untuk pengobatan di beberapa negara
Dalam kesaksiannya, di Mahkamah Konstitusi, David Nutt mengatakan sejak tiga tahun lalu Inggris telah membuka kontrol atas ganja dan dijadikan sebagai obat, setelah banyak bukti dari pasien-pasien yang menggunakannya.
Secara medis diungkapkan tanaman ganja memiliki kegunaan signifikan yang tidak dapat diberikan oleh obat-obatan lainnya.
“Jadi di Inggris, ganja ini telah dipindahkan ke Kategori II, yang artinya ganja dapat digunakan sebagai obat ... dengan bukti adanya keamanan dan efikasi atau kemanjuran dari obat tersebut untuk penyakit tertentu."