Hasto: Potensi Konflik Dimulai Sejak Liberalisasi Sistem Politik
jpnn.com, JAKARTA - Penerima beasiswa doktoral Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia Hasto Kristiyanto mengusulkan sejumlah langkah yang utamanya mendorong kembali ke semangat dasar pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk nilai-nilai Pancasila.
Hasto mengungkapkan itu saat menghadiri diskusi daring Unhan dalam rangka puncak perayaan Hari Perdamaian Dunia, Senin (21/9).
Dalam diskusi itu, Hasto mengutip buku berjudul Handbook of Political Management karya Dennis W. Jhonson. Buku itu, satu di antaranya membahas krisis ekonomi 1997-1998 di Indonesia dan liberalisasi politik global.
Hasto menerangkan, sistem politik Indonesia sebelum krisis yakni Haluan Negara. Sistem itu dibentuk berdasarkan aspirasi seluruh perwakilan rakyat, melalui DPR, utusan daerah, hingga utusan golongan di MPR. Namun, sistem digantikan dengan demokrasi liberal setelah krisis 1998.
Masalahnya, ujar Hasto, demokrasi langsung ala Amerika memiliki sisi negatif. Yakni kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila dengan ideologi transnasional.
"Pilkada dalam praktik, menyempitkan pemikiran para pendiri bangsa yang visioner dan penuh dengan gambaran ideal tentang Indonesia Raya," kata Hasto dalam keterangan resminya, Senin (21/9).
"Kini orang berpikir untuk memilih pemimpin, harus sama sukunya, harus sama agamanya, sama keluarga besarnya. Tidak lagi dilihat bagaimana kompetensi menyelesaikan masalah rakyat di dalam membawa tanggung jawab masa depan, di dalam membawa sesuatu yang hadir dalam bentuk kebijakan," tambahnya.
Memang, kata dia, terdapat berbagai regulasi yang dikeluarkan untuk mencegah konflik atau menghukum pelanggar aturan. Namun, potensi konflik dalam ajang Pemilu tetap hadir dalam wujud berbagai hal.